Dibalik kesuksesan
mereka meraih Oscar tahun ini Matthew
McConaughey dan Jared Leto pasti
menaruh rasa terima kasih yang sangat besar kepada Jean-Marc Vallée, sutradara Dallas
Buyers Club yang sukses memberikan mereka ruang beraksi yang cantik serta
menuntun dan menjaga daya tarik karakter mereka sehingga terasa outstanding.
Nah, kali ini Jean-Marc Vallée
melakukan hal yang sama dengan masalah yang jauh lebih sederhana layaknya 127 Hours, Wild, sebuah studi karakter yang kembali sukses menelurkan salah
satu penampilan akting paling memikat tahun ini.
Review: Citizenfour (2014)
"Assume your adversary is capable of one trillion guesses per second."
Apa yang disajikan oleh
Citizenfour mungkin tidak berisikan
jump scare kehadiran makhluk gaib untuk memberikan kejutan dan rasa takut pada
penontonnya, tapi dengan cara yang tenang serta alur narasi yang halus ia
menghasilkan sebuah hiburan yang akan membuat kamu merasakan takut teramat
tinggi ketika ia telah selesai bercerita tentang betapa berbahaya bahkan
menakutkannya era internet yang kita jalani sekarang ini. Dokumenter dengan
thrill dan horror yang mengasyikkan.
Review: Top Five (2014)
Top
Five
dapat menjadi penggambaran sederhana dari kepribadian sosok utama yang berada
dibalik layar, Chris Rock, ia bergaya
bebas bahkan tidak sedikit yang menyebutnya random, terkesan berantakan namun
penuh energi dan yang paling penting punya percaya diri yang tinggi. Menjadi
aktor, penulis cerita, hingga sutradara, Chris
Rock berhasil menjadikan Top Five
ibarat sebuah penggambaran dari dirinya, komedi yang berani dan nakal yang
punya narasi dengan cita rasa seperti versi pure comedy dari Birdman.
Review: Beyond the Lights (2014)
"Open your heart. Find your voice."
Gugu Mbatha-Raw memang
hanya punya dua buah film di tahun ini dimana pada dua film tersebut ia
berperan sebagai pusat utama, namun dua film tersebut sudah cukup mampu untuk
membuka jalan baginya untuk semakin di kenal oleh para penikmat film. Perannya
sebagai Belle sangat kuat dan padat, dan itu juga hadir di film ini, Beyond the
Lights, dimana penampilan Gugu Mbatha-Raw berhasil menjadikan kita memaafkan
segala keterbatasan yang ia miliki karena terpikat dengan perjuangan yang
dilakukan oleh Noni Jean.
Review: Annie (2014)
Ia adalah musikal, ia
adalah sebuah film bertemakan keluarga, ia adalah sebuah remake dari film yang
sangat dicintai karena rasa imut dan loveable yang ia hasilkan, ia punya
jajaran cast yang tampak menjanjikan, ia juga dipilih untuk rilis menjelang
liburan akhir tahun yang jelas menjadi periode sangat menjanjikan untuk
menghabiskan waktu bersama keluarga dan sahabat. So, sangat mudah untuk menilai
Annie sebagai sebuah kemasan yang
menjanjikan untuk dinikmati, namun hasil yang ia berikan jauh berbeda. Outstanding misfire.
Review: Night at the Museum: Secret of the Tomb (2014)
"Why don't you take a picture, it'll last longer!"
Film ketiga dari
kehidupan malam di museum yang pertama kali hadir delapan tahun yang lalu ini
seperti sebuah kendaraan sewaan dengan durasi sewa yang belum habis sehingga
membuat sang peminjam memilih untuk mengisi waktu sisa tadi dengan
berputar-putar tanpa arah. Memang ada momen lucu, memang ada momen ketika
nostalgia pada karakter hadir kehadapan kita, tapi Night at the Museum: Secret of the Tomb tidak berhasil menjadi
sebuah perpisahan yang akan dikenang lama oleh penggemarnya.
Movie Review: PK (2014)
Kita semua tahu beragam
agama yang eksis di bumi ini, masing-masing menjalankan ajaran mereka tentu
saja dengan tujuan utama membawa umat mereka terus berada di jalan yang benar.
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah jika semua agama yang berbeda tadi mengatakan
ajaran mereka benar apakah itu berarti Tuhan juga lebih dari satu? Jika Tuhan
lebih dari satu lantas Tuhan siapa yang paling benar diantara agama-agama tadi?
Pertanyaan yang mungkin akan hadir di kalangan mereka yang masih “malu-malu”
bersikap terbuka pada keberagaman agama itu yang berhasil di gambarkan dengan
cara yang menyenangkan oleh film ini. PK,
a bold, clever, and hilarious treat for people with open-minded faith point
of view.
Movie Review: The Hobbit: The Battle of the Five Armies (2014)
"Will you follow me, one last time?"
Sebelum bercerita
terlalu jauh sebagai informasi awal yang mungkin juga akan terkesan telat bahwa
The Hobbit merupakan adaptasi dari novel dengan judul sama yang memiliki
ketebalan sebesar 320 halaman untuk versi English,
dan 340 something untuk terjemahan Bahasa Indonesia. Jika informasi tadi
merupakan sesuatu yang baru bagi anda maka anda tidak perlu merasa aneh pada
keterkejutan yang bisa saja anda alami, karena dahulu saya juga mengalami hal
yang sama. Benar, 320 lembar tadi coba diterjemahkan oleh Peter Jackson menjadi
film yang ia pecah menjadi tiga bagian, dan dengan materi yang terbilang tipis
hasilnya adalah: film pertama okay, film kedua kurang okay, dan finale terasa
kering. The Hobbit: The Battle of the
Five Armies, a dry and drudgery entertainment from an “ambitious” effort.
rorypnm’s 20 Favorite Movies of 2014
Saya percaya kalau kata
“terbaik” dan “favorit” selalu memiliki konotasi atau arti yang berbeda,
“terbaik” lebih berlandaskan sikap objektif sedangkan “favorit” cenderung
mengandalkan subjektifitas dalam sebuah penilaian yang diberikan. Sesungguhnya tahun lalu
ide untuk memecah dua hal tersebut yang selalu hadir dalam setiap penilaian di
blog ini untuk menjadi dua bagian di akhir dan awal tahun sudah lahir, dan
kesempatan itu ternyata muncul di tahun ini setelah blog ini memiliki seorang
kontributor. So, berikut adalah 20 film favorit saya tahun ini.
Review: Birdman (2014)
“Popularity is the
slutty little cousin of prestige.”
Birdman
ini ibarat 4D experience, kita hanya
duduk di sebuah kursi menggunakan sebuah kacamata tapi apa yang kita saksikan
terasa sangat nyata, membuat kamu seolah misalnya berada di sebuah
rollercoaster dengan lintasan yang gila dan penuh liku-liku, akan membuat kamu
teriak sangat kencang ketika ia tiba-tiba naik atau turun lalu setelah itu
tertawa ketika ia sejenak bergerak tenang untuk memberikan kamu kesempatan
bernafas. Itu yang saya rasakan dari Birdman
or (The Unexpected Virtue of Ignorance), ia punya isu dan karakter yang
menghasilkan empati dan simpati, ia punya komedi yang membuat kamu tertawa
geli, bercerita dengan liar bahkan cenderung sinting, sebuah studi karakter
dengan rasa meta yang lezat. A fantastic
typhoon.
Movie Review: Wolf Children (2012)
Mereka yang menyebut
dirinya sebagai penikmat film pasti pernah mengalami hal ini, kondisi dimana
anda teringat dengan sebuah judul film tapi hanya sebatas ingat inti paling
besar dan utama yang ia sampaikan. Jika anda bertanya pada saya Rio 2 bercerita tentang apa maka jawaban
saya adalah burung yang tersesat di hutan, Mr.
Peabody & Sherman kembali ke masa lalu, dan Planes: Fire & Rescue hanya sebatas kebakaran hutan. Ya,
menciptakan sebuah film dengan detail memorable yang bukan hanya sekali lewat
saja merupakan sebuah tantangan yang dihadapi filmmaker, dan film ini berhasil
melakukan hal tersebut dengan baik. Wolf
Children (Ōkami Kodomo no Ame to Yuki), a calm, tender, and sharp animation.
Movie Review: Patema Inverted (2013)
Konsep positif dan negatif yang dibawa oleh film ini
juga memberikan dampak positif dan negatif pada hiburan yang ia hasilkan, ide
liar yang akan langsung mengingatkan anda pada film Upside Down itu berhasil diterjemahkan kedalam visual yang mampu
mempermainkan imajinasi penontonnya, sayangnya kehebatan yang ia ciptakan di
sektor tersebut ternyata tidak membawanya berakhir di posisi tertinggi potensi
yang ia miliki. Patema Inverted (Sakasama
no Patema), bold, beautiful, and a bit banal animation.
Movie Review: Lupin the 3rd vs. Detective Conan: The Movie (2013)
Salah satu sistem dari terciptanya kesuksesan yang
diraih secara tim berasal dari hubungan diantara orang-orang yang bekerja
didalamnya, harus ada pemimpin yang kemudian akan memperoleh dukungan sosok
pendukung dibelakangnya. Contohnya seperti Real
Madrid atau Barcelona, mereka
punya Ronaldo dan Messi yang seolah berada di dunia lain
jika dibandingkan dengan rekan-rekan mereka. Film cross over dari dua karakter
anime idola masyarakat Jepang ini seperti menggabungkan Ronaldo dan Messi di
dalam satu tim. Lupin the 3rd vs.
Detective Conan: The Movie, awkward blended between two of Japan's most beloved
Anime characters.
The 3rd Anniversary of rorypnm
Terkadang yang menjadikan sesuatu terasa mengejutkan
adalah hadirnya keseimbangan antara sikap optimis, realistis, serta pesimis
untuk saling menguatkan, dan itu yang saya alami ketika pertama kali membuat
blog ini tiga tahun lalu. Mau di isi apa ya ini nanti? Yakin nanti tidak akan
membosankan? Seberapa lama blog ini akan eksis? Yakin bakalan ada yang orang
yang membaca? Perasaan yang diselimuti “impossible situations” tadi ternyata
merupakan sebuah “great opportunities” yang melakukan penyamaran. And now it’s
making me feel happy. Thank you!
Movie Review: Why Don't You Play in Hell? (2013)
"Movie God, if I can make a hell of a movie, I don't mind dying now."
Ia bisa membuat anda menangis sedih, ia bisa membuat anda tertawa bahagia, ia bisa membuat anda menutup mata, ia juga dapat menjadikan anda bertepuk tangan bahagia. Banyak hal yang dapat diberikan oleh sebuah film kepada penontonnya, baik itu dengan mengandalkan narasi yang kuat dan rapi, atau justru menggunakan style lewat sebuah permainan visual, tapi ada satu hal yang paling penting yang wajib diberikan oleh sebuah film kepada penontonnya, sebuah pengalaman dengan sensasi yang memuaskan dan menyenangkan. Need a fun time? Let’s play with this hell. Why Don't You Play in Hell?, a holy-shit loveletter to filmmaking from Sion Sono. (Warning: review contains strong language and image).
Movie Review: The Kirishima Thing (2012)
Ekspektasi awal ketika film ini baru saja dimulai
adalah akan mendapatkan sebuah penggambaran dari seseorang yang bernama
Kirishima, namun tidak begitu jauh dari titik start kemudian muncul pertanyaan
lain, kapan Kirishima itu akan muncul? Lebih dari sepuluh menit kemudian
pertanyaan kembali berubah, dimana sebenarnya sosok Kirishima itu berada? Namun
setelah kekacauan satu persatu terbangun pertanyaan mengalami perubahan yang
sangat drastis, who the hell is Kirishima? The
Kirishima Thing (Kirishima, Bukatsu Yamerutteyo), a captivating high-school and
social tragedy with stylish mindplay.
Movie Review: Beyond the Memories (2013)
Film yang merupakan adaptasi dari bagian terakhir
manga series berjudul Kiyoku Yawaku
ini seperti sebuah kisah romansa yang terjebak didalam warna sendu yang ia
gunakan sejak awal hingga akhir, terasa manis, terasa halus, terasa lembut,
namun sayangnya dengan durasi sepanjang 127 menit apa yang ia berikan berada di
bawah potensi awal miliknya yang sangat menjanjikan. Beyond the Memories (Kiyoku Yawaku), a (too) tender love story.
Movie Review: The Great Passage (2013)
Film ini menciptakan kejutan tersendiri di kalangan
penikmat film ketika ia terpilih menjadi wakil Jepang pada pertarungan Best Foreign Language di ajang Oscar tahun lalu. Ada yang mengatakan ia
bukanlah sebuah drama luar biasa, namun itu masih jauh lebih sedikit jika
dibandingkan dengan rasa bingung karena disampingnya hadir Jepang juga punya Like Father, Like Son karya Hirokazu Koreeda yang notabene akan
menjadi nilai plus bagi negara mereka. Memang benar ini tidak megah, namun ia
punya apa yang kita cari pada sebuah drama dari negeri sakura. The Great Passage (Fune o Amu): an
old-fashioned inspiration.
Movie Review: Clouds of Sils Maria (2014)
Semakin besar ambisi yang anda miliki maka semakin
besar pula tantangan yang harus anda hadapi dan atasi, begitupula dengan hasil
akhir serta masalah yang mungkin akan anda ciptakan. Ada sinkronisasi diantara
bagian-bagian tadi, dengan kunci terletak pada bagian tengah tadi, bagaimana
itu dihadapi dan diatasi. Film ini sangat besar pada ambisi, namun sayangnya
hal tersebut tidak tampil sama persis di bagian lainnya. Clouds of Sils Maria: a disjointed character study about insecurity.
For your consideration, in best supporting actress category, Kristen Stewart.
Movie Review: Stand by Me Doraemon (2014)
“Will you be okay without me?”
Jika anda tidak memiliki masalah atau pertentangan
dengan kalimat yang mengatakan tidak ada yang abadi, anda pasti mengerti bahwa
akan muncul perpisahan dari segala sesuatu yang eksis di dunia ini. Robot yang
datang dari masa depan dalam wujud kucing dengan sebuah kantung ajaib yang
menjadi primadona di kawasan asia ini telah berada di tahap akhir tadi pada
kategori feature film yang berlandaskan manga series miliknya, sebuah
perpisahan penuh warna dan rasa selama 95 menit. Stand by Me Doraemon: smiles, laughs, and tears in sayonara without
goodbye.
Review: Exodus: Gods and Kings (2014)
"Once brothers, now enemies."
Ia memang punya Alien
dan Gladiator di daftar filmography,
tapi karya-karya Ridley Scott selalu
hit or miss bagi saya dalam jumlah yang berimbang, bahkan bukan hanya ketika ia
menjadi sutradara hal yang sama juga terjadi ketika ia menjadi produser. Masih
membekas di ingatan bagaimana Robin Hood
jatuh datar empat tahun lalu, bahkan tahun lalu dengan cast yang sangat
menjanjikan Ridley Scott seperti
kehilangan magic miliknya di Prometheus
dan menjadikan The Counselor sebagai
thriller yang ompong, dan magic itu masih belum kembali di Exodus: Gods and Kings. Lost in Egypt.
Review: Horrible Bosses 2 (2014)
"New crime. Same tools."
Sekuel selalu menjadi sebuah pedang bermata dua, ia
bisa meneruskan kesuksesan yang telah diraih pendahulunya, bahkan tidak sedikit
yang mampu memberi penonton suguhan yang lebih baik, tapi di sisi lain ia juga
dapat menjadi sebuah noda yang melukai pencapaian pendahulunya. Horrible Bosses 2 adalah sebuah noda
bagi film pertamanya yang tiga tahun lalu bukan hanya sukses menjadi box-office hit tapi juga menjadi sebuah komedi "menjijikkan" yang menyenangkan.
Review: Leviathan (2014)
Sulit bahkan masih ragu untuk mengatakan ini sebagai
pemenang versi saya di kategori Best
Foreign Language pada Oscar tahun depan mengingat saingannya juga tidak
kalah cantik, dari Two Days, One Night,
kemudian Ida, lalu ada Force Majeure, serta film terbaru Xavier Dolan yang sangat kami
antisipasi, tapi sebagai contender wakil dari Rusia ini merupakan salah satu pesaing terkuat. Alasannya? Leviathan (Leviafan) adalah sebuah drama satire yang cenderung provokatif dalam menyampaikan kritiknya bukan
hanya lewat lapisan-lapisan yang padat dan tajam, tapi juga membuat penonton
merasa hangat dan dingin secara bersamaan. Bold, bleak, brutal, and beautiful.
Review: Force Majeure (Turist) (2014)
Perwakilan dari negara Swedia pada ajang Oscar di
kategori Best Foreign Language ini
dapat dikatakan adalah contoh paling baru bagaimana sikap sabar pada apa yang
mereka dapatkan dari sebuah film akan sangat membantu penonton untuk
mendapatkan kepuasan dari yang baru saja mereka saksikan. Tenang cenderung
perlahan, tampak luarnya terkesan sedikit serius, tapi Force Majuere justru berhasil memainkan isu pernikahan yang ia bawa
itu tidak kalah menyenangkannya seperti apa yang dilakukan oleh Gone Girl, bahkan terasa lebih ringan
dan mudah untuk menjangkau penonton yang lebih luas. What a bleak and funny avalanche!
Movie Review: Penguins of Madagascar (2014)
"You just mermaid my day."
Ketika saya mencoba mengajak beberapa rekan untuk
nonton bersama film ini jawaban dari mereka mayoritas punya satu inti yang
serupa: malas, ada yang mengatakan kurang menarik, bahkan ada pula yang
mengatakan ini hanya akan mengikuti jejak Planes
sebagai sebuah spin-off yang tidak menghibur. Memang sebuah pemikiran yang sangat
wajar mengingat Madagascar yang
menjadi induk awalnya juga sudah kurang menarik, tapi rasa pesimis itu pula
yang menjadikan apa yang diberikan oleh film ini terasa mengejutkan. Penguins of Madagascar, stupid, silly, &
satisfying spin-off scooter.