Ketika melangkah keluar setelah selesai menyaksikan
film ini ada satu hal yang langsung terlintas dipikiran saya: “So, posisi Boyhood di puncak semakin tidak aman.”
Whiplash menyamai apa yang diberikan oleh Boyhood,
dari segi cerita ia memang berada sedikit di belakang tapi disisi lain ia punya
sensasi yang sangat luar biasa, salah satu yang terbaik di tahun ini, unsur
drama dicampur dengan sedikit thriller yang terasa memikat, ia juga punya pertarungan
psikologis untuk menemani perjuangan di sektor musik yang jadi fokus utama. A fantastic crescendo.
Review: Men, Women & Children (2014)
"Everyone's searching for a better connection."
Film ini bisa dikatakan menjadi salah satu film yang
paling diantisipasi di tahun ini, dengan alasan utama tentu saja Jason Reitman. Oke, selain kegagalannya
di Labor Day yang membosankan itu apa
dihasilkan oleh Jason Reitman sebagai sutradara selalu terasa menarik, dari Thank You for Smoking, Juno, Up in the Air, hingga
Young Adult. Ada satu kesamaan
diantara mereka, teknik bercerita yang dingin. Hal itu kembali hadir di film
terbarunya ini, Men, Women & Children,
tapi sayangnya sedikit terlalu dingin.
Review: Alexander and the Terrible, Horrible, No Good, Very Bad Day (2014)
"One day can change everything."
Tidak seperti judulnya yang punya empat suku kata
dengan makna buruk, film produksi Disney ini secara mengejutkan justru tidak
memberikan pengalaman yang begitu buruk bagi penontonnya. Memang bodoh,
dangkal, klise, apapun itu sebutan untuk sesuatu yang tidak baru dan standard,
tapi dengan berbagai pengulangan yang di eksekusi dengan berani itu Alexander and the Terrible, Horrible, No
Good, Very Bad Day justru mampu memberikan hiburan yang manis, hiburan
konyol yang tidak serta merta benar-benar kosong tanpa memberikan sesuatu yang
penting bagi penontonnya.
Review: Pride (2014)
"Every woman is a lesbian at heart!"
Seperti judul yang ia miliki, Pride bisa jadi merupakan salah satu kebanggaan dari dunia
perfilman British di tahun ini.
Bagaimana tidak ketika ia memiliki banyak warna yang berhasil dicampur atau
disatukan dengan baik, ia punya drama yang terasa hangat tapi juga tetap
berhasil membuat masalah yang ia punya terasa serius, ia juga punya komedi lucu
yang mampu membuat penonton tertawa dalam kadar yang pas, dan mereka bersatu
didalam narasi yang berjalan dengan cepat dan meriah, kombinasi style dan substance yang manis.
Review: Serena (2014)
“Our love began the day we meet, nothing that happen
before even exist.”
Serena ibarat seperti orang yang sedang olahraga tapi hingga
ia selesai tidak mengeluarkan keringat sedikitpun, atau mungkin pasangan yang
sedang bercinta tapi tidak menghasilkan sedikitpun suara. Tujuan yang ingin ia
raih memang tercapai, tapi tidak ada sensasi yang benar-benar besar yang
tertinggal bagi penontonnya, dan itu mengecewakan karena Serena sebenarnya punya
tiga senjata yang sangat kuat untuk dapat menjadi drama yang memikat, Susanne Bier, Bradley Cooper, dan and maybe
Hollywood's , America’s, and everbody’s newest sweetheart, Jennifer Lawrence.
Review: The Hunger Games: Mockingjay Part 1 (2014)
Film pertama dari bagian terakhir trilogy The Hunger Games ini bisa dibilang
sedikit salah langkah dalam memainkan strategi yang mereka miliki, dan pusatnya
seperti mayoritas keluhan dari banyak penonton terletak pada keputusan mereka
untuk membagi satu novel menjadi dua. Kesalahan berasal pada film kedua, Catching Fire, yang secara mengejutkan
menaikkan ekspektasi kita pada trilogy ini secara drastis, memberikan lompatan
yang terbilang cukup besar pada sisi daya tarik jika dibandingkan dengan film
pertamanya, yang juga mempengaruhi penilaian terhadap The Hunger Games: Mockingjay Part 1. We're at the start, the colours disappear.
Movie Review: Two Days, One Night (2014)
Dibalik kesederhanaan
yang ia tampilkan film ini berhasil menggambarkan salah satu hal kejam yang
dapat kita temukan dengan sangat mudah di dunia yang sudah kejam ini. Anda bisa
saja memiliki puluhan bahkan ratusan teman atau sahabat yang dapat menjadi tempat rekan ketika anda berbagi kebahagiaan, namun ketika anda berada didalam situasi yang
sebaliknya jumlah tersebut sangat mungkin tidak akan lagi sama, terlebih dengan
keterlibatan tahta dan harta didalamnya.
Two Days, One Night (Deux jours, une nuit), a soft and simple illustration
about world is a battlefield.
Movie Review: Confession (Good Friends) (2014)
"Rather than a stranger, the probability of getting killed by someone close is higher."
Ada yang mengatakan bahwa ketika seseorang yang sangat
kita sayangi mengalami sebuah rasa sakit yang teramat dalam, kita juga akan
merasakan sakit yang sama besarnya. Itu situasi yang sangat mudah, yang anda
lakukan cukup membantunya untuk keluar dari rasa sakit itu. tapi bagaimana jika
situasinya lebih rumit, anda punya keterkaitan dengan sumber dari rasa sakit yang ia alami.
Film ini menggunakan konsep tadi untuk mencoba menyajikan sebuah kisah tentang
kekuatan dari sebuah persahabatan. Confession
(Joeun Chingoodeul), an effective typical Korea drama.
Review: The Imitation Game (2014)
"Sometimes it is the people no one imagines anything of who do the things that no one can imagine."
Film yang berada di baris terdepan pada pacuan untuk
menjadi film terbaik di tahun 2014 ini sukses besar memberikan saya sebuah
pukulan besar ketika ia sudah berakhir, karena sepanjang 114 menit durasinya
saya seolah kekurangan kesempatan untuk memalingkan atensi darinya,
biografi dari pria bernama Alan Turing
yang menjadi pahlawan pada perang dunia kedua yang justru kental dengan elemen
spy serta thrill yang terus dijaga dengan ketat, terus membuat apa yang The Imitation Game tampilkan terasa
menarik dengan cara yang cerdas, nakal, tapi juga terasa intim, menjadi salah
satu thriller termanis yang hadir setelah Argo.
Review: Dumb and Dumber To (2014)
Dua puluh tahun atau dua dekade tentu bukan waktu yang
singkat, bayi yang dahulunya masih belajar merangkak mungkin saja kini sedang
melangkah keluar dari ruang resepsi pernikahannya, pasangan yang dahulunya
penuh kemesraan ketika high school kini mungkin sedang pusing mempersiapkan
anak mereka yang akan masuk middle school. Perubahan akan terjadi pada
mayoritas hal yang ada didunia, yang sayangnya seperti dikalikan nol saja oleh Farrelly brothers di film ini, Dumb and Dumber To, upaya menghidupkan
kembali duo penuh kegilaan yang telah menghilang selama dua dekade tanpa sebuah
penyegaran yang mumpuni.
Review: Before I Disappear (2014)
Before I Disappear bisa jadi seperti sebuah teriakan dari Shawn Christensen kepada para produser
besar untuk menaruh perhatian padanya di masa depan, atau mungkin memberikan
kepercayaan padanya untuk menangani proyek yang lebih besar dari film ini. Dari
short film berjudul Curfew yang tahun
lalu berhasil meraih Oscar di
kategori Best Live Action Short Film,
Before I Disappear mendapat perlakuan
yang sangat tepat oleh Shawn Christensen, ia dipanjangkan tanpa melukai hal-hal
yang membuat film pendeknya itu terasa menyenangkan.
Review: Winter Sleep (2014)
Film yang berhasil Palme
d'Or, mahkota tertinggi pada perhelatan Cannes
Film Festival yang lalu ini dapat dikatakan merupakan salah satu kandidat
terkuat di kategori Foreign Language Film
pada Oscar tahun depan, wakil
dari Turki dengan durasi yang dapat kamu gunakan untuk menonton Gravity sebanyak dua kali lengkap dengan
credit. Memang benar Nuri Bilge Ceylan kembali berhasil membuat kejutan, namun
Winter Sleep bekerja kurang sempurna, seperti lost in Cappadocia, atau versi yang sedikit lemah dari A Separation.
Movie Review: Nightcrawler (2014)
“If you want to win the lottery, you have to make the
money to buy a ticket.”
Enjoy your life mungkin merupakan salah satu kalimat yang menenangkan
di dunia ini, dimana kita seolah diberikan semangat untuk melakukan apa yang
bukan hanya membuat kita tertarik untuk melakukannya, tapi juga menikmatinya.
Tapi terkadang rasa aman itu yang menjadikan kita kehilangan kontrol,
kehilangan kendali, contohnya seperti obsesi berlebihan yang dapat menghasilkan
boomerang berbahaya. Film ini menampikan hal tadi dalam sebuah petulangan
sederhana yang menakutkan dan menyenangkan secara bersamaan. Nightcrawler, a bold and weirdly haunting
social satire adventure with Joker "look-alike".
Review: Suck Me Shakespeer (2013)
Dibalik judulnya yang terbilang aneh bahkan terasa sedikit kontroversial (dalam bahasa Jerman
berjudul Fack ju Göhte), film
ternyata berhasil meraih satu slot di ajang German
Film Academy Awards pada kategori tertinggi, best picture, dan dari segi
komersial ia juga membukukan pendapatan yang besar tahun lalu. Awalnya saya
berpikir profit yang ia peroleh lebih berdasarkan judul yang ia gunakan, tapi
ternyata Suck Me Shakespeer punya hal
lain yang lebih dari itu, yang sayangnya punya pengaruh dalam kuantitas sangat
kecil.
Review: Love Steaks (2013)
Film independent asal Jerman ini mungkin adalah salah satu pilihan tepat jika kamu
mencari film tentang cinta dalam bentuk yang tidak begitu biasa. Materi yang ia
gunakan memang tidak ada yang baru, tapi disini Jakob Lass berhasil menggunakan segala materi standard itu untuk
menjadikan Love Steaks perjalanan
cinta yang bukan hanya menyenangkan, tapi juga terasa segar, lucu, dipenuhi
dengan aksi-aksi random seorang wanita bersama dengan Joaquin Phoenix doppelganger yang uniknya disamping mampu membuat
dirinya tampak menarik tapi juga tidak begitu saja melupakan tema cinta yang ia
bawa. Seperti judulnya, ini adalah daging steaks yang sedap untuk disantap.
Movie Review: The Hunger Games: Mockingjay – Part 1 (2014)
“If we burn, you burn with
us!”
Damn you Harry Potter, karena upaya empat tahun lalu untuk memanfaatkan potensi box-office dengan membagi film terakhir menjadi dua bagian kini perlahan akan bahkan telah menjadi trend baru yang menarik untuk dicoba. Bukan perlakuan yang merupakan sebuah dosa memang, namun masalahnya adalah tidak semua film adaptasi layak mendapatkan treatment seperti itu, tidak semua buku atau novel memiliki materi yang mumpuni untuk dipecah menjadi beberapa bagian, tentu ada hal positif, namun tidak sedikit pula hal negatif yang dapat muncul. Bagian pertama dari film terakhir trilogi perjuangan di negeri Panem ini menderita karena hal terakhir tadi, The Hunger Games: Mockingjay - Part 1, a bit forced, feeble, faint, and facile formality fission for farewell.
Review: Kill the Messenger (2014)
"Can you keep a national secret?"
Drama thriller yang berada dibawah kendali sutradara
yang pernah diberikan kepercayaan untuk memimpin beberapa episode tv-series Dexter dan Homeland ini memang berhasil menciptakan kesempatan bagi Jeremy Renner untuk memberikan
penampilan terbaiknya setelah The Hurt
Locker, tapi dominasi kesan ambigu pada materi yang Kill the Messenger
punya ternyata juga ikut hadir pada rasa yang ia hasilkan bagi penontonnya.
Movie Review: Boyhood (2014)
"Look at the stars, look how they shine for you."
Hidup merupakan sebuah perjalanan dengan sebuah
tujuan, dikelilingi oleh hal-hal penuh warna-warni yang tidak selamanya menjadikan
perjalanan itu terasa mulus. Banyak tantangan, banyak kesulitan, banyak
pelajaran, namun dipenuhi pula dengan berbagai sukacita dan kegembiraan. Film ini
menawarkan semua hal tadi dalam durasi 165 menit, bukan hanya satu melainkan
berbagai masalah ia gunakan untuk memberikan anda sebuah pengalaman dan
pelajaran yang menarik tentang kehidupan dengan menyaksikan seorang anak
laki-laki tumbuh besar selama satu dekade lebih. Boyhood: a great and masterclass time-lapse journey of life.
Review: Love, Rosie (2014)
"It's never too late to fall for a mate."
Buat saya tidak ada film yang sempurna, selalu saja
ada hal-hal negatif yang mampu
mengganggu eksistensi hal-hal positif, begitupula sebaliknya dimana hal-hal
positif dalam kuantitas kecil juga mampu untuk menutup bagian negatif yang ia
miliki jika mampu di olah dengan baik. Love,
Rosie melakukan itu, ia tidak memberikan sesuatu yang benar-benar baru pada
genre romance, formulaic, tapi ia sukes menjadi salah satu cute rom-com tahun ini.
Review: Before I Go To Sleep (2014)
"Don't. Trust. Anyone."
Sangat mudah untuk jatuh kedalam perangkap yang dibuat
oleh sebuah film dengan misteri sebagai jualan utamanya, terlebih dengan kesan
ambigu yang mereka ciptakan kita bukan hanya berperan sebagai penonton yang
menunggu namun secara perlahan akan mencoba untuk ikut mencari tahu jawaban
dari berbagai pertanyaan yang ia berikan. Tapi film tipe seperti selain mudah
untuk mencuri atensi penontonnya juga sangat mudah untuk kehilangan atensi,
kehilangan daya tarik. Penyakit itu dialami film ini, Before I Go To Sleep.
Review: The Best of Me (2014)
"You never forget your first love."
Misi yang dibawa oleh The Best of Me pada dasarnya mungkin baik, dimana ia seperti ingin
mencoba menghadirkan kisah dari novel Nicholas
Sparks ini kedalam bentuk penyajian yang sedikit berbeda, memberikan
sentuhan kecil yang membuatnya berbeda jika dibandingkan dengan empat film
adaptasi novel Nicholas Sparks (Dear
John, The Last Song, The Lucky One, Safe Haven) yang selalu berputar-putar
di template yang sangat identik. Sayangnya niat tersebut memberikan hantaman
boomerang yang sangat besar bagi film ini.
Review: The Rewrite (2014)
Film terbaru dari penulis Miss Congeniality ini adalah sebuah hiburan yang licik, ia seperti
tahu apa saja materi yang dapat ia manfaatkan untuk menarik perhatian penonton,
kemudian mempertahankan atensi mereka, semua untuk melindungi berbagai
kelemahan yang ia miliki. Hasilnya tidak begitu buruk, ia standard bahkan
terasa sangat lunak, tapi at least The
Rewrite mampu memberikan sebuah rom-com klise dan klasik yang cukup
menghibur di beberapa bagian kecil.
Movie Review: Big Hero 6 (2014)
“They say we are what we are, but we don't have to
be.”
Hadir sedikit rasa pesimis kala itu ketika mendapatkan
kabar bahwa Pixar akan absen dari pertarungan di kategori animasi tahun ini,
seolah merasa semuanya akan monoton meskipun Toothless akan melakukan comeback. Tapi kejutan demi kejutan
hadir sejak awal tahun, dan ketidakhadiran one-to-beat justru menjadikan
kategori ini terasa seperti sebuah pertarungan liar. Film terbaru dari Disney ini
semakin menambah rasa bingung pada siapa yang layak menjadi film animasi
terbaik tahun ini, Big Hero 6: prepare to
be amazed by an adventure with heart, smarts, and an adorable big marshmallow.
Review: Café. Waiting. Love (2014)
Tentu saja sesuatu yang wajar bagi seorang filmmaker
yang menciptakan sebuah karya yang berhasil meraup keuntungan besar untuk
kembali mencoba kesuksesan tersebut. Tiga tahun yang lalu Giddens Ko meraih kesuksesan besar lewat You Are the Apple of My Eye, dan kali ini ia kembali dengan materi
dari novel keduanya. Tidak berada di kursi sutradara memang, dan hasil yang ia
berikan juga tidak seperti kakaknya tersebut, tapi Café. Waiting. Love berhasil memberikan tontonan yang cukup
menghibur dengan kisah cinta yang chessy dan konyol.
Review: The Good Lie (2014)
"Miracles are made by people who refuse to stop believing."
Film terbaru dari sutradara salah satu mantan nominasi Oscar ini, Monsieur Lazhar, mencoba membawa penontonnya untuk melihat sebuah perjuangan sekelompok “orang hilang” untuk menemukan dan membangun kembali kehidupan mereka, usaha bertahan hidup dan lepas dari tragedi kelam dimasa lalu mereka. Efektif memang, ada inspirasi yang berhasil mereka tinggalkan, namun sayangnya berbagai keputusan yang kurang tepat menghalangi The Good Lie untuk mencapai potensi yang ia miliki.
Review: Interstellar (2014)
"Mankind was born on Earth. It was never meant to die here."
Ketika perjalanan
hampir tiga jam itu selesai dan sedang melangkah keluar studio ada satu hal yang
terlintas dipikiran saya, apakah apa yang baru saja saya saksikan ini sama
dengan rekan dan banyak penonton yang mengatakan Interstellar
sebagai sebuah petualangan luar angkasa yang luar biasa di semua sektor? Dari
visual memang iya, salah satu yang terbaik di tahun ini malah, tapi tidak pada
permainan teori bahkan drama penuh emosi itu yang katanya sampai menghasilkan
linangan air mata. Apakah saya terdampar di galaksi lain sehingga merasakan
ini sebagai perjuangan yang cukup datar, terlebih dengan standard dari seorang Christopher Nolan?
Review: Haemoo (Sea Fog) (2014)
Film yang menjadi perwakilan Korea Selatan di kategori
Best Foreign Language Film pada ajang
Oscar mendatang ini bisa dibilang
seperti proyek dari Bong Joon-ho
(Memories of Murder, The Host, Mother) untuk menghidupkan ambisi lain yang
ia miliki, menciptakan sebuah petualangan ruang sempit layaknya Snowpiercer yang kini mencoba mengambil
setting didalam sebuah perahu yang terombang-ambing di lautan bersama
manusia-manusia yang dilanda masalah. Memang tidak semewah film terakhir tadi,
tapi Sea Fog (Haemoo) berhasil
menjadi versi "kusam" dari Snowpiercer dengan intensitas drama dan
ketegangan yang tidak kalah menariknya.
Movie Review: John Wick (2014)
"Everything has a price."
Jika anda pernah merasakan kesedihan yang teramat
dalam, anda pasti akan tahu bagaimana rasa kesal ketika disaat yang sama hadir
masalah baru yang mencoba menganggu. Biasanya ledakan yang akan muncul pada situasi
tersebut akan dua, tiga, empat, bahkan n kali lebih besar dari amarah normal
anda. Konsep tersebut yang digunakan film ini untuk memberikan salah satu
hiburan action terbaik tahun ini, John
Wick: don't mess with “siCK” people, especially if he’s a WIzard.