Movie Review: Edge of Tomorrow (2014)


"Come find me when you wake up!"

Sebenarnya Edge of Tomorrow punya dua faktor yang dapat membuat calon penonton merasa skeptis padanya, pertama adalah ia hadir pada rentang waktu pertengahan tahun atau lebih dikenal sebagai summertime yang identik dengan status blockbuster pengeruk keuntungan, dan kedua ia punya Tom Cruise, bankable star yang mulai menjauh dari status most powerful actor yang pernah ia sandang. Tapi ini yang menarik ketika anda menaruh ekspektasi pada level normal, peluang hadirnya rasa puas itu akan semakin besar. Edge of Tomorrow, a smart and efficient puzzle between Halo and Groundhog Day with Monaco Grand Prix speed.    

Movie Review: X-Men: Days of Future Past (2014)


"Mutants, we now find ourselves on the edge of extinction."

Tidak perlu mundur sampai dua hingga tiga dekade kebelakang, jika anda sama dengan saya menghabiskan masa kecil di era 90-an setidaknya anda akan kenal dengan salah satu tim superhero beranggotakan para mutan yang kemunculannya tahun 2000 lalu dapat dikatakan menjadi pioneer kemunculan superhero lainnya ke layar lebar. Tapi jika berbicara cerita pada franchise atau film series X-Men lebih sering meninggalkan luka ketimbang terus maju, sebut saja seperti Marvel Cinematic Universe. Fox sadar akan kesalahan itu dan mulai mencoba menyusun ulang jagoan mereka ini, dan well, itu berhasil. X-Men: Days of Future Past, style, substance, sensation.    

Review: The Grand Budapest Hotel (2014)


"There are still faint glimmers of civilization left in this barbaric slaughterhouse that was once known as humanity."

Ketika selesai menyaksikan film ini ada satu pertanyaan aneh yang terlintas di pikiran saya, apa jadinya ya kalau Wes Anderson diminta untuk jadi sutradara film horror? Bisa atau tidak? Dia seperti punya aturan main bahwa filmnya harus colorful tentu saja dengan keunikan gambar simetris miliknya itu, tapi disisi lain ia juga ahli dalam menciptakan narasi yang tampak rumit bahkan kacau dan bergerak gegabah tapi dengan cepat mampu menjerumuskan penontonnya untuk terbuai kedalam mood dari imajinasi miliknya tersebut. Sebagai imajinasi terbarunya The Grand Budapest Hotel masih punya hal-hal tadi, keindahan yang rumit dalam petualangan yang bergerak cepat, super sweet and eye-catching a box of cakes. Two thumbs up.  

Movie Review: Neighbors (2014)



"We're throwing a Robert De Niro party."

Neighbors, yang juga dirilis dengan nama Bad Neighbours secara Internasional, adalah film komedi yang ternyata menampilkan keunikan bukan hanya pada jajaran cast yang ia punya. Ada kombinasi yang kasar, Zac Efron yang telah menjadi bagian dari ikon romance di kalangan young adult, Rose Byrne yang mulai klik dengan komedi setelah sebelumnya lebih sering bermain di drama dan juga misteri, dan ada si gila Seth Rogen dengan suara beratnya. Disamping itu Neighbors secara mengejutkan berhasil menggabungkan salah satu hal yang sulit diharapkan dari sebuah film komedi, humor tajam dan total dengan keterlibatan sedikit wawasan didalamnya.    

Movie Review: Oculus (2013)



"I've met my demons, I have many. I've seen the devil, he is me."

Sebenarnya apa sih inti utama dari sebuah film horror yang menarik? Gambar-gambar creepy yang menarik? Cerita yang bagus? Atau justru kemampuan ia untuk menyuguhkan satu hal sederhana yang dicari para penonton, menakut-nakuti mereka. Jika jawaban kamu adalah opsi ketiga, maka mungkin ada senyuman bagi Oculus, visual dan cerita memang hanya sebatas oke, namun untuk memberikan rasa takut dia lebih dari oke. 

Movie Review: Noah (2014)



"The beginning! The beginning of everything!"


Andai saja tidak ada nama Darren Aronofsky di posisi sutradara serta jajaran aktor dan aktris papan atas di divisi akting, film dengan status sebagai biblically-inspired ini mungkin sama saja nasibnya dengan Son of God yang ceritanya juga sama-sama memakai nabi Allah sebagai bahan cerita. Directing style Aronofsky itu yang menarik, mengedepankan akting dan narasi dengan sedikit style yang manis, namun sayangnya kali ini ia mulai bermain lebih jauh dengan CGI yang menjadikan dua hal diawal tadi jadi terasa lemah, sesuatu yang tanpa ia sadari membuka pintu masuk bagi berbagai potensi kontroversi. Noah, brave but unbalance interpretation. 

Movie Review: Fading Gigolo (2013)



Siapa sih yang tidak tertarik pada sebuah film dengan Woody Allen didalamnya? Belum lagi jika hal itu ditambah dengan penggunaan judul yang cukup licik lewat ikut sertanya kata “Gigolo” sebagai cover dibalik aktor-aktor yang sudah cukup dikenal lainnya seperti Sharon Stone, Liev Schreiber, dan juga Sofía Vergara. Sayang sekali potensi yang ada itu terbuang sia-sia ditangan John Turturro, Fading Gigolo menjadi sebuah rom-com klasik yang mencoba tampil manis namun berakhir statis.  

Movie Review: Nymphomaniac: Volume II (2014)


"Human qualities can be expressed in one word: Hypocrisy."

Sebut saja film ini merupakan korban yang tercipta dari hasrat luar biasa milik Lars von Trier pada topik kecanduan seks yang ingin ia angkat, begitu banyaknya materi yang ingin disampaikan hingga harus memecahnya menjadi dua bagian untuk menghindar dari salah satu kemungkinan terburuk yang dihasilkan oleh durasinya yang sangat gemuk. Yap, sebuah kisah berisikan tragedi pada seks ini masih bermain di pattern yang sama dengan babak pertamanya, lebih eksplisit, namun sayangnya tidak lebih baik. Nymphomaniac: Volume II, a frustrating sexual frustration(Warning: review contains (probably) strong image).

Movie Review: Godzilla (2014)


"Mommy, look, Dinosaurs."

Selalu ada sebuah kesulitan umum dari film dengan status summer blockbuster, harus mampu menghadirkan cerita yang tidak murahan namun disisi lain juga menjauhkan mereka agar tidak mengganggu jualan utamanya pada hiburan visual. My #1 most anticipated summer movie 2013: Pacific Rim, dan hasilnya berada dibawah ekspektasi, keseimbangan diantara elemen utama yang ia miliki terasa kurang mumpuni. Nah, hal terakhir itu yang secara mengejutkan dimiliki oleh film ini, cerita oke dalam visualisasi kekacauan yang juga oke. Godzilla, a good disaster movie, manipulative orchestra with foreplay narration.

Movie Review: Like Father, Like Son (2013)


"At what point does a father truly become a father?"

Banyak orang tua yang pasti punya penafsiran berbeda terkait pertarungan antara uang dan kasih sayang, melihat anaknya terus tumbuh dari melintasi empat, lima, dan enam tahun menciptakan semangat yang membara untuk bekerja lebih giat demi masa depan mereka, tapi celakanya justru perlahan menjauhkan mereka dari “another real job” mereka sebagai orang tua, memberikan perhatian seperti bermain bersama dengan kegiatan sederhana. Ladies and gentlemen, Mansion dan Ferrari belum menjadi keinginan dari anak berusia enam tahun, mereka dapat merasa bahagia hanya dengan mandi bersama orangtua mereka di dalam sebuah bak mandi ukuran kecil yang sempit. Money can get you closer into happiness, but they still can’t buy that thing directly. Like Father, Like Son (Soshite Chichi ni Naru), captivating, affecting, charming.    

Movie Review: The Lunchbox (2013)


"Sometimes the wrong train will get you to the right station."

Cinta tidak hanya dapat menjadi rumit, cinta juga dapat pula menjadi sesuatu yang sederhana, bersemi ataupun hancur karena sesuatu yang sederhana, ia dapat datang dan pergi juga dari hal yang sederhana. Hal tersebut yang menjadi pondasi film asal India ini, menceritakan gejolak cinta bersama kehidupan dengan cara yang unik menggunakan sebuah delivery system makanan bernama Dabbawala. The Lunchbox, a tender and funny love story.

Movie Review: Brick Mansions (2014)


Tentu saja ada sebuah rasa senang ketika selesai menonton sebuah film ada point menarik yang dapat kita bawa pulang. Namun hal tersebut faktanya bukan menjadi sebuah hal yang wajib, harus, dan mesti hadir dalam komposisi yang kuat pada sebuah film, karena memperjuangkan hal tersebut dapat membunuh potensi yang dimiliki untuk dapat menjadi sebuah hiburan bodoh yang menyenangkan. Hal tersebut dialami oleh film ini, Brick Mansions. To make a “good” movie you need a “good” story.

Movie Review: The Double (2013)


"I'm like Pinocchio. I'm a wooden boy."

Keberhasilan itu datang dari usaha kita sendiri, bukan dari pemberian orang lain. Terkadang rasa ragu dan takut yang sering kali menjadi penghalang terwujud kalimat tadi, sikap tidak berani mengambil aksi yang justru menciptakan ruang dan kesempatan yang dapat dimanfaatkan oleh orang lain, dan memberikan dampak buruk bagi kita. Isu tersebut yang coba dibawa oleh film ini dengan mengandalkan mitologi doppelganger yang konon menjadi pertanda sebuah bad luck, dikemas dengan serius dan santai bersama komedi dan drama percintaan. The Double, a creepy and funny psychological (and maybe love) story.

PnM Music Chart - 050314


[Fiction] The Chosen One

Matanya terus melirik kearah lampu lalulintas ditengah himpitan kerumunan orang yang berbaris dengan rapi di tepi jalan, dan disaat lampu hijau bagi pejalan kaki itu menyala dengan langkah sigap tubuh mungil yang seolah tenggelam dalam jaket musim dingin berwarna biru muda itu berlari kecil menuju seberang jalan yang telah berwarna merah muda akibat sekumpulan cherry blossom yang kembali beraksi. Dikeluarkannya smartphone dengan case berwarna hijau dari dalam sakunya, dan sosok manis itu mulai mengetik bersama senyuman yang tidak pernah hilang sejak ia meninggalkan kantornya. “I’m on my way hun,” ketik-nya dengan jari yang bergerak dengan lincah, namun ketika opsi send itu telah ditekan kalimat tadi ternyata telah berubah menjadi “Aku menuju kesana sekarang.” “Hmm,” isi balasan yang ia terima. Prediksinya benar.