Movie Review: Nebraska (2013)


Sebenarnya orang tua tidak pernah mengharapkan anak-anak mereka untuk membalas semua kasih sayang yang mereka berikan ketika anaknya masih dalam proses bertumbuh dan belum bisa hidup mandiri, namun ada sebuah sistem yang tidak dapat dihindari, sebuah pertukaran peran dimana ketika orang tua telah memasuki usia senja maka selanjutnya kehidupan mereka akan menjadi tanggung jawab anak-anaknya. Ini tahapan krusial, masa dimana anda dapat melihat cinta yang sesungguhnya dalam keluarga, dari rasa frustasi hingga sikap sabar. Nebraska, in one word: bittersweet.    

Movie Review: Philomena (2013)


Salah satu hal tersulit dalam bercerita adalah ketika harus menghadirkan materi hitam yang dikemas dalam tampilan non-hitam. Kita punya sebuah kisah kelam, namun dalam cara penyampaiannya kita harus mampu menjadikan kisah itu agar tampak lembut dan tidak membebani penontonnya, sehingga materi seperti diberikan batas dan berupaya menyampaikan misi yang ia bawa dengan menciptakan keseimbangan yang efektif dan efisien. Itu merupakan hal yang riskan, dan film ini mengalami dampaknya. Philomena, drama kelam yang sedikit terlalu lembut.   

Movie Review: Lone Survivor (2013)


Sebenarnya sebuah film yang bermain di medan peperangan tidak selamanya harus tampil megah dipenuhi dengan ledakan. Zero Dark Thirty membuktikan itu dua tahun lalu hanya dengan menampilkan sebuah proses, bahkan The Hurt Locker enam tahun lalu berhasil terus memaku atensi hingga akhir hanya menggunakan kisah dari para tim penjinak bom, ya walaupun sebenarnya hal tersebut juga menuntut karakter yang kuat. Hal tersebut yang tidak dimiliki oleh film ini, sekalipun ia pandai dalam bercerita, Lone Survivor.

Movie Review: Winter's Tale (2014)


Apa hal yang paling membuat anda merasa jengkel ketika menyaksikan film bertemakan cinta? Hal-hal klise yang ia hadirkan? Tidak masalah jika itu dikemas dengan baik dan sanggup menebar daya tarik. Bagaimana dengan permainan emosi? Bayangkan sebuah kisah cinta yang punya cerita tidak berkembang, sebuah romansa tanpa tenaga sehingga apa yang ia hadirkan terus saja berteman dengan kata datar dan hambar. Itu yang dimiliki oleh film ini, Winter's Tale, this is not a true love, this is an impotent love story.   

Movie Review: Pompeii (2014)


Coba lihat poster diatas, sepasang kekasih yang bercumbu ketika sebuah gunung sedang meletus. Ridiculous? Pasti, namun bukannya formula seperti itu menjadi sesuatu yang sangat ampuh untuk dijual? Hadirkan kisah romansa yang sangat menuntut permainan emosi diantara karakter, kemudian tempatkan mereka ditengah himpitan bencana yang dengan setia secara perlahan terus menebar ancaman. Opsinya hanya dua, hit or miss. Pompeii, when Gladiator stuck in Titanic.    

PnM Music Chart - 022214


Movie Review: Vampire Academy (2014)


Mungkin banyak yang beranggapan bahwa premis merupakan faktor kunci dari sebuah film di bagian awal, namun sebenarnya di atas premis ada sesuatu yang jauh lebih penting: konsep. Ya, apa yang ingin ia gambarkan, dan bagaimana cara ia menghadirkan eksekusi pada penggambaran tadi, dua hal dasar yang sangat penting. Hal tersebut yang tidak hadir dalam kapasitas yang kuat pada film ini, seolah terombang-ambing dalam rasa bingung, Vampire Academy, a movie who doesn't know what she wanna be. Frankly to say, they suck from beginning.    

Movie Review: Endless Love (2014)


“Cinta nomor satu, tanpa cinta, lebih baik saya mati.” Pasti akan ada mereka yang menilai kalimat tadi lebih terasa sebagai sesuatu yang bodoh ketimbang romantis, karena tidak dapat dipungkiri pola berpikir terkait percintaan yang terlalu sederhana seperti itu mungkin masih menjadi makanan yang sangat lezat tiga dekade yang lalu, namun kini cukup sulit untuk diterima di era modern sekarang ini, terlebih ketika melibatkan kata instan didalamnya. Ah, tidak masalah kok, klise, standard, yang penting harus punya permainan emosi yang memuaskan. Nah, itu yang tidak dimiliki oleh film ini, Endless Love, a super bland love story.

Movie Review: I, Frankenstein (2014)


From the producers of Underworld, kalimat yang tercantum pada poster tersebut sesungguhnya telah dapat mewakili apa yang coba ditawarkan oleh I, Frankenstein. Masih sama, formula yang sama, dan kembali ada Kevin Grevioux didalamnya, I, Frankenstein kembali coba menawarkan fantasi bersama balutan action dan sedikit nafas horror. It's not bad, it's just, terrible.

Movie Review: Sunshine on Leith (2013)


"You let me get lucky with you."

Musical is an exception. Saya sendiri tidak tahu apa alasan mengapa perpaduan antara dialog dan lirik ketika menyampaikan perasaan karakter dalam bentuk teatrikal itu selalu mudah untuk menarik atensi, dari Moulin Rouge!, Chicago, Mamma Mia!, Enchanted, dan  Burlesque, hingga edisi terbaru seperti Tangled, Pitch Perfect, The Sapphires, Les Misérables, dan Frozen. Mereka mungkin terkesan aneh, canggung, dan beberapa punya cerita standard, namun selalu ada unsur fun yang mampu menghadirkan senyum ketika menonton. Sunshine on Leith, a sweet and warm musical about family and love.

Movie Review: RoboCop (2014)


"Dead or alive, you are coming with me!"

In my opinion RoboCop karya Paul Verhoeven merupakan satu dari sekian banyak film abad 20 yang belum layak untuk di daur ulang pada fase awal era millennium ini. Ia klasik, ia sebuah kenangan yang masih meninggalkan bekas manis, itu mengapa ketika berita remake muncul ada sebuah perasaan mix, antusiasme tentu saja hadir namun ikut disertai dengan rasa pesimis yang juga eksis karena sebuah pertanyaan sederhana, “apakah sudah perlu?” RoboCop, another great classic icon who become a victim of Hollywood ambition.

PnM Music Chart - 021514


Movie Review: Killers (2014)


Hati-hati dengan orang psycho. Kalimat tersebut mungkin sudah pernah anda dengar, karena dibalik tampilan charming, intelek, dan  penuh perhatian yang mereka miliki kaum psycho sesungguhnya lebih berbahaya dari orang gila yang juga mengalami gangguan kejiwaan, karena mereka masih berada di alam sadar. Namun tahukah anda bahwa semua orang punya potensi menjadi psikopat didalam diri mereka yang jika tidak mampu melakukan kontrol dengan baik siap melakukan kudeta. Killers, good enough psychological thriller.

Movie Review: The Lego Movie (2014)


“Everything is awesome. Everything is cool when you’re part of a team.”

The easiest way to make yourself become a king: playing with Lego. Hal tersebut pernah saya rasakan dahulu, bermain dengan banyak balok kecil untuk menciptakan bentuk-bentuk unik, permainan penuh eksperimen yang menuntut kreatifitas dan imajinasi untuk membangun fantasi yang kita miliki, semua dilakukan dengan bebas karena mereka berada dibawah kendali kita. Sangat menyenangkan, dan semakin menyenangkan ketika bagian dari memori itu kini hidup dan bergerak, menyaksikan apa yang dahulu pernah kita lakukan. The Lego Movie, a very entertaining random satire parade in Lego World.

Movie Review: Ilo Ilo (2013)


"Hope Is Within Yourself."

Sangat mudah menciptakan kehancuran penuh energi dalam tone tinggi, hadirkan ledakan, teriakan, hingga baku hantam, dan selesai. Namun hal tersebut tidak dimiliki kehancuran dalam ketenangan, sebuah penggambaran yang sulit dan memiliki apa yang sulit untuk dicapai oleh rekannya tadi, after effect yang kuat. Film ini mampu menghadirkan hal tersebut, lembut, tenang, kehancuran dan pengharapan serta drama dan komedi yang seimbang, Ilo Ilo, a heartwarming drama without dramatization.

Let’s Get It Started!!


Sepertinya satu minggu sudah cukup untuk digunakan sebagai minggu hening, minggu dimana proses refresh sedang berjalan, minggu tanpa film yang digunakan sebagai upaya untuk membuka pintu masuk menuju season baru serta otomatis meninggalkan memori indah yang telah tercipta di season 2013 yang lalu. Yap, semua sudah bersih, dan mari melangkah maju, let’s get it started!! (warning: it’s a long random stuff)