26 January 2014

Movie Review: Filth (2013)


"There's something seriously wrong with me."

Ada banyak cara untuk bertemu dengan solusi ketika kita harus dihadapkan pada masalah yang berasal dari lingkungan sekitar kita. Namun hal sebaliknya terjadi ketika masalah itu bersumber dari diri kita sendiri, bahkan ia punya power yang lebih besar untuk memberikan dampak destruktif skala ekstrim. Masalah, tekanan, dan mental, hal tersebut dibawa oleh Filth, diadaptasi dari novel ketiga creator Trainspotting, self destruction adventure with a good surprise.

Seorang wanita dengan tampilan menggoda bernama Carole (Shauna Macdonald) menjelaskan bagaimana ia punya sistem hubungan yang cukup unik dengan suaminya, Bruce (James McAvoy). Pasangan yang telah memiliki seorang anak ini telah hidup berpisah, namun Bruce masih menyimpan asa untuk dapat kembali bersama, dan langkah pertama yang ingin ia lakukan adalah dengan memperbaiki jabatannya yang kini detektif. Kesempatan itu tiba, sebuah kasus dimana seorang mahasiswa Jepang ditemukan tewas oleh segerombolan remaja preman.

Tapi ternyata bukan hanya Bruce yang akan memanfaatkan kasus tersebut untuk mengincar peluang untuk mendapatkan promosi, ia punya saingan empat orang detektif, diantarnya seorang rookie bernama Ray Lennox (Jamie Bell), dan wanita cantik bernama Amanda Drummond (Imogen Poots). Uniknya bukan mereka yang ternyata memberikan tekanan kelas berat pada Bruce yang memiliki sikap bebas dalam bekerja, karena masalah itu muncul dari tekanan emosi dan mental dalam jiwa Bruce yang masih terus terbelenggu dalam upaya untuk kembali meraih cinta istri dan anaknya.


Pada awalnya Filth akan tampak seperti sebuah upaya saling tipu antar karakter untuk meraih posisi tertinggi. Ya, ekspektasi kita sebagai penonton secara tidak langsung telah diarahkan kesana, diberikan sebuah konflik terkait pembunuhan yang kemudian ditemani dengan sebuah fakta bahwa akan ada promosi bagi para detektif selepas tahun baru. Namun hal tersebut pada akhirnya justru hanya menjadi sebuah trik untuk membuka jalan bagi penonton untuk menuju sebuah studi karakter (ya, saya juga terkejut ini pada akhirnya menjadi sebuah proses mengamati tokoh utama) yang berjalan dengan materi sebuah isu yang sangat luas terkait obsesi dan tekanan.

Aneh memang karena sepanjang film kita justru akan dibawa masuk kedalam petualangan yang sangat bertolak belakang dengan isu tadi, tidak akan pernah jauh dari gerak cepat narasi yang berani dan penuh komitmen dalam mencampuradukkan komedi yang mayoritas cukup mampu mengundang senyum, bersama hal-hal yang sesungguhnya secara kasar kerap kali terlihat menyimpang terlalu jauh jika menilik misi utama yang sederhana itu. Permainan kotor berisikan aksi vulgar, karakter yang sangat akrab dengan seks, alkohol, hingga narkoba, perlahan mungkin akan muncul sedikit sikap meremehkan namun dengan cara halus hadir transisi implisit yang sejujurnya dapat dikatakan menjadi penyelamat utama Filth.

Ya, tanpa disadari setelah semua pesta gila penuh hingar-bingar yang ia sajikan, bermain di tema sensitif seperti rasisme dan homoseks, dari cara rumit dengan masuk kealam alam imajinasi hingga hal sederhana seperti penggunaan mesin fotokopi, Jon S. Baird seperti paham betul bagaimana menggeser warna cerita yang ia adaptasi dari novel milik Irvine Welsh ini untuk menuju point utama terkait psikis dan mental ini. Ia semakin beruntung karena tema tadi sesungguhnya sangat mudah untuk dijabarkan, lepaskan karakter untuk menghancurkan dirinya sendiri, biarkan penonton menilai, dan sistem tersebut berjalan dengan baik.

Tidak dapat dipungkiri memang sulit untuk memberikan support pada tindakan yang dilakukan Bruce, namun anehnya ada empati pada permasalahan utama yang ia emban, terlebih ketika pengungkapan itu muncul. Yang menjadi masalah disini adalah sekalipun ia berpindah dengan halus, perubahan itu tidak memberikan sebuah loncatan positif yang berarti, dan itu semakin runyam karena dibagian itu pula Jon S. Baird mulai kehilangan ritme, gerak cekatan itu hilang, Filth perlahan tampak kehilangan power. Dampaknya cukup besar, setelah berupaya membangun dengan sedikit nafas Trainspotting dengan balutan soundtrack yang mengasyikkan, power point utama hanya berada di level standard.

Cukup disayangkan memang karena walaupun diakhir ia tidak menghadirkan penjelasan saya suka dengan cara ia menuntaskan semuanya, namun kurang kuat. Meskipun begitu petualangan Bruce punya power yang cukup besar untuk melekat lama di memori penontonnya, terlebih dikarenakan performa mumpuni dari James McAvoy, sanggup menopang beban untuk menggerakkan cerita seorang diri, serta mampu menyuntikkan karisma dan daya tarik dibalik materi dengan tema gelap yang ia punya. Beberapa pemeran pendukung juga cukup mampu mencuri atensi dibalik keterbatasn gerak mereka, Eddie Marsan dan istrinya yang diperankan oleh Shirley Henderson, serta Imogen Poots dan Jim Broadbent.


Overall, Filth adalah film yang cukup memuaskan. Dalam sekejap Filth akan mampu mencuri atensi jika penonton klik dengan tujuan utama mereka, karena perpindahan halus yang juga implisit itu pada awalnya akan berisikan proses penuh tindakan negatif yang sesungguhnya sedang membangun jalan untuk menuju point utama yang ia usung, self destruction, bagaimana manusia semakin mudah hancur jika selalu setia hanya berteman dengan tekanan.



2 comments :

  1. huaaaaa.....ketinggalan byk film yg blom nntn :'(:'(*hiks min skrg kan udah masuk bln februari yg kata orang bln penuh cinta *eaaaaa review film2 yg romantis abiz dong min hehehe*plakk byk mau :) oya....satu lagi min mau nanya dong ending film remember me (2009) itu tokoh yg diperankan robert patison itu bunuh diri atau jadi korban bom WTC y??*maaf byk nanya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Romance sudah di buat list kok, tapi belum ada yang di eksekusi. :)
      Seingat saya di remember me itu karakter R-Patz korban WTC, kalau gak salah waktu itu dia lagi nunggu di satu ruangan.

      Delete