Menjelang
berakhirnya usia remaja, mayoritas dari anda pasti pernah mengalami hal ini,
meningkatnya rasa ingin tahu pada sesuatu yang baru, dan menjadikan aturan yang
orang tua anda telah terapkan semakin mengikat, menyiksa, dan mengganggu. The Kings of Summer adalah contoh
sederhana, coming-of-age yang
menyatukan komedi dan drama, menyajikan sebuah proses bertumbuh dan menemukan
dari remaja dan orang dewasa, kemasan absurd yang mencoba membuktikan selalu
ada batasan dalam segala hal.
Movie Review: The Broken Circle Breakdown (2012)
"I would swim the seas for to ease your pain."
Hal ini jelas tidak bersifat umum dan tidak mencerminkan sebuah fakta yang belum tentu terjadi pada semua orang, namun ketika anak-anaknya telah dewasa, orang tua punya tugas yang begitu besar sebagai pemersatu, dan dapat menggoyahkan kapal bernama keluarga itu jika salah satu dari mereka menghadapi masalah. Tapi tidak sedikit pula hal tersebut berlaku sebaliknya, dimana anak sering kali mengalahkan janji suci “till death do us apart” itu untuk menjadi alasan orang tua untuk tetap bersama. Ini akan membuat anda tertawa bahagia, menari penuh suka cita, hingga menyajikan sebuah kesedihan yang ekstrim. The Broken Circle Breakdown, solid, lucu, sangat menyedihkan, sebuah kemasan emas yang mengejutkan, heartbreaker.
Movie Review: Oh Boy (2012)
Oh Boy adalah sebuah sensasi bulan april
yang lalu pada perhelatan German Film
Award yang diberi label sebagai Oscar bagi perfilman Jerman. Berhasil
memenangkan enam perhargaan dari sembilan nominasi yang ia peroleh, menundukkan
kompetitor mega budget bernama Cloud
Atlas hingga Lore dalam kategori
best film, yang menarik ini justru adalah film debut dari sutradara bernama Jan-Ole Gerster. Terinspirasi dari lirik
A Day in the Life milik John Lennon, Oh Boy adalah petualangan tragicomedy
selama satu hari yang absurd, ringan, dan menyenangkan, ketika tragis dan melankolis berpadu dengan manis.
Movie Review: Much Ado About Nothing (2013)
“If I do not love her, I am a fool.”
Sebenarnya ini adalah sebuah film yang mengejutkan, bagaimana
ketika sutradara yang telah berhasil menghantarkan The Avengers menuju tangga kesuksesan justru memilih untuk
melanjutkan petualangannya dengan mencoba mengadaptasi salah satu karya William Shakespeare yang dikemas sangat
sederhana, shooting di rumah pribadi miliknya di California hanya dalam kurun waktu 12 hari, dan kemudian dikemas
dalam tone hitam-putih. Much Ado About
Nothing, ini manis.
Movie Review: Insidious: Chapter 2 (2013)
"In my line of work things tend to happen when it gets dark."
Berhasil meraih
pendapatan 60 kali lipat dari budget yang ia miliki, hanya orang bodoh dalam
dunia industri perfilman yang tidak mau meneruskan film tersebut, dengan opsi
lain ia mungkin sudah kehilangan cinta. Yap, mungkin ini adalah alasan dimana Paranormal Activity series yang selalu
sukses melakukan sulap tersebut memutuskan absen tahun ini, mereka sudah mulai
kehilangan cinta dari penonton, memberikan ruang atau mungkin menyerahkan
tongkat estafet kepada Insidious: Chapter
2, another financial success, tidak berhasil mengulangi apa yang
pendahulunya pernah lakukan dalam hal kualitas.
Movie Review: The World's End (2013)
Apakah menjadi
dewasa adalah sebuah proses alamiah dimana ia akan muncul dan menghampiri anda
ketika saatnya telah tiba, atau justru merupakan sesuatu layaknya harta karun
yang hanya dapat anda dapatkan dengan berupaya untuk menemukannya. Enam tahun
berlalu, mereka kembali, film ketiga dari The
Three Flavours Cornetto trilogy, Simon
Pegg dan Nick Frost, tidak ada
zombie, tidak ada polisi gila, hanya dengan obsesi pada beer dan masuk kedalam
petualangan sci-fi comedy dengan sentuhan apocalypse, The World's End, menyenangkan.
Movie Review: This Is the End (2013)
Seorang teman
pernah berkata pada saya yang intinya, “aku ingin kelak sebelum mengakhiri
hidup, mati ataupun itu kiamat, berkumpul bersama orang-orang yang aku cintai
dalam suasana damai.” Tentu sebuah harapan indah yang di inginkan banyak orang,
namun garis finish itu tidak dapat diprediksi kapan akan datang, dan enam pria
ini harus menerima fakta menghadapi ajal mereka dengan berkumpul bersama dalam
sebuah rumah yang dipenuhi masalah. This
Is the End, dengan premis sederhana mampu menghadirkan kekacauan yang gila.
Movie Review: You're Next (2013)
“Horror films often deal with the viewer's
nightmares, hidden fears, revulsions and terror of the unknown.” Empat materi
tersebut hadir di film ini, dari mimpi buruk, hadirnya kejutan, rasa takut,
sampai dengan terror dari sosok yang tidak dikenal. Singkat saja, You’re Next, film yang telah tertunda
selama dua tahun, sebuah kemasan horror yang mampu membuat penontonnya
bergembira.
Movie Review: Secretly, Greatly (2013)
Salah satu cara sederhana bagi sebuah film untuk menjadikan
ia mudah dikenang adalah dengan menyajikan sebuah cerita yang tidak begitu
menarik dibagian pembuka, ya mungkin tetap punya potensi, namun perlahan
mulai bergerak naik kearah positif dan berhasil mencapai puncak klimaks di
akhir cerita. Secretly, Greatly
melakukan hal tersebut, namun sayangnya dalam sisi negatif, kembali dengan
nafas gesekan antara dua negara Korea, punya potensi namun tidak punya
kombinasi cerita ringan dan berat yang mumpuni.
Movie Review: The Family (Malavita) (2013)
Buah jatuh tidak jauh
dari pohonnya. Hal tersebut tentu saja menarik, namun jika di lihat dari
konteks positif. Lantas bagaimana jika sebuah keluarga terdiri dari Ayah yang
pernah berurusan dengan mafia, punya istri sesama pembunuh berdarah dingin,
yang kemudian turun ke generasi berikutnya pada anak mereka yang tidak pernah
merasa takut untuk bermain dengan masalah. The
Family (Malavita), predictable, sempit, ringan, unfocus, yang dapat
dirangkum dalam sebuah kata, F.
Movie Review: 2 Guns (2013)
Buddy cop film selalu mudah untuk tampil
menyenangkan, selama anda tidak menaruh ekspektasi yang sangat tinggi. Bad Boys, The Other Guys, 21 Jump Street,
hingga yang terbaru The Heat, mereka
bukan kemasan yang pintar namun telah membuktikan mampu menarik dan memperoleh
cinta dari para penonton. Sama halnya dengan 2 Guns, tidak ada ekspektasi yang begitu tinggi, hanya berharap
mendapatkan sebuah tontonan yang berisikan kebodohan yang tidak terlalu bodoh,
namun justru memberikan sebuah kejutan dalam bentuk kombinasi aksi dan komedi
yang mumpuni.
Movie Review: The Bling Ring (2013)
"If you can’t be famous, be infamous."
Selebriti adalah pubic
figure. Kalimat itu mungkin sudah familiar di telinga ketika, bagaimana dengan
segala kemudahan yang mereka peroleh menjadikan sosok-sosok terkenal tersebut
menjadi sorotan dan idola masyarakat, tanpa mengenal batasan dari golongan
hingga usia. Yeah, mereka menjadikan banyak orang bermimpi untuk dapat menjadi
seperti mereka. The Bling Ring coba
menggambarkan dampak dari sikap hedonisme
yang tumbuh secara berlebihan, Sofia
Coppola masih dengan sentuhan warna Lost
in Translation, dunia kriminal penuh mimpi, obsesi, dan ambisi, yang
sayangnya tidak sepenuhnya menyenangkan.
Movie Review: The Frozen Ground (2013)
Mereka memang punya
kualitas akting yang tidak buruk, namun jika anda diminta untuk mendeskripsikan
Nicolas Cage dan John Cusack dalam satu kata maka jawabannya adalah: ragu. Kick-Ass menarik berkat bantuan Cage,
begitupula dengan Hot Tub Time Machine
dengan kehadiran Cusack, tapi coba tarik lima tahun kebelakang maka list yang
mereka miliki lebih sering berisikan film kelas C hingga E, dari 2012, The Raven, hingga Ghost Rider dan Stolen. Yang mengejutkan adalah The
Frozen Ground berhasil tampil berbeda, thriller yang tidak memikat, namun juga tidak menyiksa.
Movie Review: Grown Ups 2 (2013)
Adam Sandler adalah aktor yang serba bisa. Ia bisa
menjadi ayah angkat yang jobless, pria penderita penyakit psikologis, tentara
yang kemudian menjadi penata rambut, memaksa Jennifer Aniston untuk mau menjadi
istri palsunya, bahkan menjadikan Al Pacino jatuh cinta padanya. Masuk ke level
produser, tidak heran Sandler tetap eksis, dan kerap kali mampu memperoleh
penghasilan dua kali lipat budget yang ia punya. Tapi ia standard, apakah wujud
kesetiaan dengan cara yang ia punya, atau justru karena rasa takut, yang
kemudian menjadikan kehadiran film ini cukup mengejutkan. Yap, Grown Ups 2, film sekuel pertama
Sandler, sukses di box office, masih dengan materi bodoh yang bodoh.
Movie Review: Kick-Ass 2 (2013)
"The real world had real consequences."
Cara paling tepat untuk menikmati hidup adalah tentu saja
dengan melakukan apa yang anda senangi, apa yang mampu menjadikan anda akan
melakukannya dengan senang hati, menikmati tiap detik yang berlalu, tanpa
ditemani beban yang memberatkan serta mengganggu. Ini yang menjadi fokus utama Kick-Ass 2, sekuel dari Kick-Ass yang sempat menjadi bagian
dari kejutan tiga tahun lalu, kumpulan manusia biasa yang berkostum aneh, mampu
menghadirkan kekacauan menyenangkan. Sayang, di edisi kedua ini ia hanya punya
unsur pertama, karena kekacauan itu tidak lagi menyenangkan. (Warning: review contains strong language)
Movie Review: We're the Millers (2013)
"You never really
know until you know."
Tentu saja ada
alasan mengapa manusia dijuluki sebagai makhluk sosial, karena mereka perlu
orang lain disekitarnya untuk menjadikan hidup mereka bertumbuh, salah satunya
mungkin membuka jalan untuk menemukan apa yang selama ini tidak mereka
dapatkan. We're the Millers coba
membawa hal tersebut dalam petualangan bodoh, bagaimana hal palsu yang justru
menuntun empat orang menuju kebahagiaan. Yap, sekali lagi, ini bodoh, klasik,
standard, predictable, namun secara mengejutkan tampil menghibur dan
menyenangkan.
Movie Review: The East (2013)
"Poison our habitat, we'll poison yours."
Sebenarnya apa makna dari kata adil? Apakah penggambaran dari kondisi sama rata yang pada akhirnya menjadikan kejahatan harus di balas pula dengan kejahatan? Bukannya dengan menyakiti orang yang telah menyakiti banyak orang hanya justru menjadikan kita sama buruknya dengan mereka? Pertanyaan tadi digunakan sebagai pondasi oleh Zal Batmanglij dan Brit Marling pada kolaborasi kedua mereka, The East, sebuah thriller yang mumpuni. Ya, mumpuni.
Movie Review: Planes (2013)
"Ladies and gentleplane, can we have your attention please?"
Adalah sebuah hal yang tidak dapat terbantahkan bahwa dibalik tujuannya untuk menghibur lewat gambar-gambar ilusi ada tujuan lain yang diemban oleh sebuah film animasi, “menjual” karakter. Namun hal tersebut seharusnya hanya menjadi sesuatu yang minor dibalik fokus mereka pada tujuan utama tadi, yang ternyata tidak dilakukan oleh Disney pada spin-off dari Cars ini. Planes, datar, tidak inspiratif, membosankan.
Movie Review: Riddick (2013)
“You keep what
you kill.”
Vin Diesel adalah aktor yang menyandang status
sulit. Sulit untuk membencinya, ia mampu menjadikan Xander Cage, Toretto, hingga Riddick
menjadi karakter yang ikonik, namun sulit pula untuk benar-benar mencintai
kualitas aktingnya karena ia seperti tidak mampu untuk mencoba naik ke level
yang lebih tinggi dari yang telah ia raih sekarang, seperti terjebak dalam tiga
karakter tadi. Hal tersebut yang kemudian menimbulkan pertanyaan kehadiran Riddick, sudah tertidur Sembilan tahun,
apakah masih penting? Atau sebagai tanda bahwa Vin Diesel sudah kehabisan
karakter?
Movie Review: The Internship (2013)
Apakah anda
pernah berpikir bahwa Tuhan memasukkan anda kedalam dunia tanpa membekali anda
satu kemampuan sama sekali? Syukurlah jika jawabnya adalah tidak, karena semua
individu penghuni bumi yang berjumlah tujuh milyar lebih itu pasti punya
kemampuan ataupun keahlian. Sumber dari semua masalah yang ada sebenarnya
apakah skill yang mereka miliki dipergunakan dengan tepat? The Internship, cukup menghibur, bukti dari prinsip manajemen untuk
meraih kesuksesan, the right man in the right place.
[Special Feature] Do Arsenal need Mesut Özil?
Transfer Deadline Day (TDD), mungkin bukan
sesuatu yang menarik satu dekade yang lalu, namun beberapa tahun kebelakang
telah menjadi 24 jam yang menyenangkan bagi pecinta sepakbola, penuh warna
hitam dan putih dari pendukung klub penjual dan pembeli, saling ejek yang
dibarengi rasa cemas dari pengamatan transfer yang bergerak seperti bola liar.
Yap, selain sebagai momen untuk mengamati kekuatan lawan, melakukan pembenahan
minor pada tim, TDD adalah arena jual-beli layaknya pasar tradisional, saling
tawar yang intens, beli murah melawan jual mahal, tempat bermain bagi klub yang
berorientasi pada dana. Salah satunya Arsenal,
klub asal London yang sudah delapan
tahun tanpa gelar.
Movie Review: A Teacher (2013)
"If you don't want me to steal your heart, lock me up and keep us both apart."
Masalah adalah
makanan bagi orang dewasa, sedangkan bersenang-senang adalah pekerjaan anak
muda. Manusia terbagi dalam dua kelas, dewasa dan tidak dewasa, bukan dalam
konteks dengan tolak ukur usia, namun lebih kepada bagaimana sistem yang mereka
terapkan dalam menjalani serta membangun kehidupan. Pertanyaannya adalah
dapatkah dua insan dengan sistem yang berbeda menjadi satu kesatuan yang utuh? A Teacher, impressive performance, efisien, efektif, terlalu
singkat.