Anda mungkin pernah membaca info bahwa lagu dari seorang
penyanyi yang mirip dengan lagu penyanyi lain, bahkan mungkin ada dari mereka
yang langsung menjuluki lagu tersebut sebagai plagiat. Ada toleransi, dan di
musik itu mencapai 8 bar, namun dibalik hal tersebut yang justru paling penting
adalah kemampuan lagu tersebut untuk menciptakan “warna” lain yang dapat
menjadi identitasnya. Hal tersebut dialami oleh R.I.P.D., komedi supernatural, sebuah buddy cop yang berjalan dengan cara yang familiar, cukup menghibur
namun membosankan, soulless.
Movie Review: One Direction: This Is Us (2013)
Respon pertama ketika mendengar
kabar bahwa One Direction akan meluncurkan film dokumenter
mereka pada tahun adalah timbulnya sebuah pertanyaan, sudah pantaskah lima anak
muda British ini mendapatkan kesempatan menghadirkan sepenggal kehidupan mereka
kedalam layar lebar? Belum genap dua tahun dari debut mereka, history yang
minim, apa yang ingin mereka tawarkan? Dari fakta itu One Direction:
This Is Us dapat dengan mudah diberikan label “sebuah upaya
komersial”, minim unsur serius, berisikan tumpukan lagu, dan menuntut calon
penonton untuk tidak berharap banyak. I put my maximum expectation in
6, and I get what I want.
Movie Review: Byzantium (2013)
"Eternal life will only come to those prepared to die."
I write of what I cannot speak, the truth. Kalimat singkat
itu cukup untuk menjadi bukti bahwa kejujuran akan sulit untuk menjadi pahlawan
ketika sesuatu harus dikaitkan dengan variabel lain yang sangat personal dan
jauh lebih penting, keluarga. Byzantium,
punya potensi besar dibalik intinya yang sederhana, dikemas dalam perpaduan
konflik yang terpisahkan dalam hitungan abad, wrapped like an interview with a vampire.
Movie Review: The Mortal Instruments: City of Bones (2013)
“Well if I'm not a human then what am I?”
Momen itu masih ada, ruang kosong yang punya
potensi besar untuk di eksplorasi, situasi dimana jutaan penggemar Harry
Potter dan Twilight mulai mencoba move on dari karakter yang
mereka "cintai", dan mulai mencari tokoh baru yang layak untuk
mendapatkan cinta mereka. Yap, layak, karena tidak perduli seberapa terkenal
novel tersebut, mentransfer ratusan lembar menjadi sajian berdurasi dua jam
merupakan tugas yang tidak mudah. The Mortal Instruments: City of Bones,
torture movie, tidak mengecewakan, super boring.
Movie Review: Percy Jackson: Sea of Monsters (2013)
"My dear young cousin, if there's one thing I've learned over the eons, it's that you can't give up on your family, no matter how tempting they make it."
Film kedua dari
sebuah franchise memiliki fungsi untuk menjadi penentu kesuksesan franchise
tersebut, sebagai tolak ukur potensi yang ia miliki, apakah mereka mampu
mempertahankan atau bahkan meningkatkan kualitas yang telah diciptakan
pendahulunya, atau justru menghancurkannya. Beban berat itu di bawa oleh film
ini. Potensi tentu saja masih ada, namun Percy
Jackson & the Olympians: The Lightning tidak mampu menyentuh standar
megah seperti harapan banyak orang , yang celakanya semakin rusak oleh Percy Jackson: Sea of Monsters, yang
bahkan sulit untuk menyentuh standar memuaskan.
Movie Review: Elysium (2013)
Mempertahankan
sesuatu selalu memerlukan upaya yang lebih besar dibandingkan ketika anda
sedang berupaya meraihnya. Neill Blomkamp
adalah sebuah hits yang sangat besar di tahun 2009, meraih nominasi Oscar lewat sebuah film sci-fi indie,
memberikan magic pada film debutnya yang seharga $30 juta untuk meraih
keuntungan tujuh kali lipat. Menjadikannya memperoleh banyak atensi, dilain
sisi District 9 ternyata juga
memberikan beban bagi Blomkamp, hal utama yang sangat terlihat pada Elysium, sebuah sci-fi standard yang
kurang dinamis.
Movie Review: Keep the Lights On (2012)
Salah satu pertanyaan
yang punya tingkat kesulitan cukup tinggi adalah “apakah anda setuju dengan
hubungan sesama jenis?” Jika anda setuju, berarti anda menentang kodrat alam
yang “katanya” telah tercipta sejak ribuan tahun yang lalu, namun jika jawabnya
adalah tidak, maka dilain sisi anda tidak menaruh respect pada kreasi Tuhan
lainnya, cinta. Film ini mencoba mengajak penontonnya untuk mencoba mengerti
bahwa cinta adalah hubungan dua arah, dari dua insan, to know when to give up, and when to keep the lights on.
Movie Review: Disconnect (2012)
"He can turn on your camera, he can watch you."
Dibalik kekuatan besar yang ia miliki, ada dua hal yang dapat
anda peroleh dari kebebasan yang diberikan oleh internet, entertainment dan punishment.
Facebook dan twitter sebagai media berkomunikasi, arena “show-off” makanan
bernama instagram, sentuh layar dan
anda sudah dapat membaca berita tanpa perlu membeli koran, bahkan membeli
pakaian dan tiket pesawat tanpa perlu terjebak kemacetan. Tentu sebuah opsi
untuk mempermudah hidup, membangun sebuah koneksi yang sangat luas, namun juga
punya potensi untuk "memutuskan" koneksi yang sesungguhnya jauh lebih
penting, hubungan sosial di dunia nyata. Disconnect: simple, intens, fokus,
disconnect.
Movie Review: The Big Wedding (2013)
"It's marriage. One compromise down, 2.999 million to go."
Marriage is a triumph of imagination over
intelligence (Oscar Wilde).
Kombinasi antara emosi dan fantasi dapat menjadi sebuah kekuatan yang besar,
bahkan mampu mengubur kecerdasan seseorang, dan semakin kacau disaat masuk
kedalam lingkup pernikahan. Cinta memang sederhana dan rumit, tapi ada yang
mengatakan bahwa jawaban dari pertanyaan "apa itu cinta sejati?"
sebenarnya mudah, cinta anda kepada anak-anak anda. The Big Wedding mencoba menggambarkan hal tersebut, empat keluarga
dalam sebuah cerita, it's a big mess.
Movie Review: The Silence (Das letzte Schweigen) (2013)
Ada kalimat
“hadapi semua masalah dengan senyuman”, namun sebenarnya itu saja tidak cukup.
Senyuman adalah tampilan fisik yang dapat di rekayasa, tidak menjadi
penggambaran dari kondisi nyata seseorang. Anda perlu faktor lainnya, rasa
tenang. The Silence (Das letzte
Schweigen) berhasil menjadi sebuah sajian menarik yang membuktikan teori
tersebut, sebuah perpaduan efektif dari crime,
thriller, dan juga drama, film
yang menjadikan Memories of Murder
sebagai inspirasi utamanya.
Movie Review: Mr. Go (2013)
Korea
Selatan sepertinya semakin menunjukkan taji mereka di
berbagai bidang. Teknologi sudah mereka kuasai, gelombang musik merekapun sudah
menjadi wabah mengejutkan di berbagai belahan dunia, dan kali ini Kim Yong-Hwa mencoba untuk menjadikan
karya terbarunya ini sebagai sebuah pembuktian kepada dunia, South Korea’s first ever fully shot
stereographic 3D film, berisikan perjuangan seekor Gorilla dengan menggunakan formula from zero to hero, sebuah sajian visual yang indah namun kurang
berimbang.
Movie Review: The Smurfs 2 (2013)
"It doesn't matter where you came from. What matters is who you choose to be."
Jika ada pertanyaan film rilisan tahun 2013 mana yang punya
trailer paling datar, garing, dan unimpressive, salah satu kandidat terkuatnya
adalah The Smurfs 2. Kesempatan
singkat itu bukannya digunakan menjadi media untuk menunjukkan potensi dari kualitas
yang mereka miliki, trailer The Smurfs 2
justru menjadi sebuah parody show-off yang mencoba memaksa penontonnya untuk
tertarik. Hal tersebut juga terjadi ketika ia telah melakukan ekspansi menjadi
paket yang lebih besar, a deeply
disappointing experiment.
Movie Review: Magic Magic (2013)
Your mind can destroy you. Pasti ada yang menganggap kalimat tadi adalah
sebuah pernyataan yang konyol, namun
tidak sedikit pula yang percaya pada mind
power. Yap, pikiran merupakan pusat kontrol yang menjadi salah satu bagian
paling penting dari tubuh manusia, namun ketika ia berada pada kondisi yang
sangat lemah, terganggu, tidak fokus, pikiran justru dapat membawa bencana
besar kepada anda. Magic Magic,
interesting, hypnotizing, an unpredictable standard psychological thriller.
Movie Review: Drug War (Du zhan) (2013)
“High risk, high
return. High return, high risk."
Tidak ada
sesuatu yang besar lahir dari perjuangan yang kecil, karena untuk memperoleh
hasil yang dapat memuaskan tentu saja anda harus ikut mempertaruhkan sebuah
resiko yang tidak kalah besar. Hal tersebut merupakan inti yang ingin
disampaikan oleh Drug War (Du zhan),
karya terbaru dari Johnnie To, sebuah
contoh menarik dari bagaimana sebuah film bertemakan kriminal mampu
menghadirkan tontonan yang mengawinkan ketenangan bersama dengan tensi yang
intens, dalam balutan materi klasik namun tidak murahan.