22 September 2013

Movie Review: The World's End (2013)


Apakah menjadi dewasa adalah sebuah proses alamiah dimana ia akan muncul dan menghampiri anda ketika saatnya telah tiba, atau justru merupakan sesuatu layaknya harta karun yang hanya dapat anda dapatkan dengan berupaya untuk menemukannya. Enam tahun berlalu, mereka kembali, film ketiga dari The Three Flavours Cornetto trilogy, Simon Pegg dan Nick Frost, tidak ada zombie, tidak ada polisi gila, hanya dengan obsesi pada beer dan masuk kedalam petualangan sci-fi comedy dengan sentuhan apocalypse, The World's End, menyenangkan.

Dua dekade yang lalu, tepatnya di tahun 1990, dikala ia masih berada di jenjang sekolah, Gary King (Simon Pegg) membangun sebuah misi dengan tema beer. The Golden Mile, sebuah tantangan untuk mengitari kota Newton Haven dengan tugas untuk mencoba semua bir di 12 pub yang telah tertera dalam peta.  Misi itu gagal, dan kini  Gary berniat untuk menuntaskan tantangan tersebut yang celakanya ingin ia lakukan bersama empat orang sahabatnya kala itu, Peter Page (Eddie Marsan), Oliver Chamberlain (Martin Freeman), Steven Prince (Paddy Considine), dan Andy Knightley (Nick Frost).

Tapi tidak seperti Gary yang masih hidup dalam jiwa yang belum juga dewasa, empat sahabatnya itu telah mencapai level tersebut, dan setelah sedikit dipaksa akhirnya mau ikut bergabung dengan alasan persahabatan. Dampaknya, petualangan itu tidak lagi menyenangkan karena bumbu paksaan yang begitu kental, sampai akhirnya Gary dan teman-temannya mulai menemukan sesuatu yang telah terjadi di kota tersebut, dari kondisi yang masih sama, masyarakat yang tampak kurang peduli, dan membawa mereka kedalam sebuah invasi yang berasal dari konspirasi asing. Namun yang menjadikan mereka semakin runyam ternyata itu tidak menjadi concern Gary, yang masih fokus pada misi utamanya.


The World's End dibuka dengan cara yang efesien namun efektif, sebuah montage yang berhasil menjabarkan dengan singkat kepada penonton backstory yang menjadi awal mula petualangan pada hampir dua dekade yang lalu, berhasil membentuk lima karakter dengan sangat baik mungkin mengingat waktu yang ia gunakan pada bagian tersebut kurang dari empat menit. Dari bagaimana kehebatan seorang Gary pada tahun 1990, hingga mimpi yang belum terwujud, ada sebuah proses perkenalan yang menyenangkan di bagian pembuka, dan lucunya keberhasilan itu tidak berhenti disitu.

Edgar Wright membentuk script yang ia tulis bersama Simon Pegg menjadi seperti sebuah kombinasi dari apa yang pernah ia lakukan sebelumnya. Zombie kali ini ia ganti dengan sesuatu yang lebih canggih, masih masuk kedalam sebuah kota kecil dengan kondisi yang canggung, kemudian pergerakan liar dengan score yang menyenangkan. Shaun of the Dead, Hot Fuzz, kemudian sedikit sentuhan warna seperti Scott Pilgrim vs. the World. Ini menghibur, namun juga cukup mengganggu. The World's End seperti sebuah kemasan yang dirakit menggunakan materi lama, berikan sedikit perbaikan di beberapa bagian minor, dan voila, hasilnya masih baik namun bagi mereka yang telah mengikuti kombinasi Pegg-Frost hal ini mungkin akan terasa kurang segar.

Ya, Ini memang seperti dongeng, meminjam kembali formula yang telah ia pakai di dua film pertamanya, dari melompati pagar, sampai menuang bir yang sering hadir. Namun ini adalah contoh bagaimana sebuah eksekusi sederhana tetap mampu tampil menarik berkat fokus yang terjaga dengan baik. Plotnya tidak begitu halus, transisi perpindahan cerita juga sama tidak semuanya halus, pengembangan dari karakter yang telah diberikan pondasi mumpuni itupun tidak begitu besar dan dalam, tapi Wright tahu bagaimana cara menggabungkan hal-hal tersebut dalam beberapa warna genre namun tidak saling membunuh. Drama yang ia punya tetap hidup, komedi tidak begitu dominan namun tetap mampu memberikan nafas lucu pada cerita meskipun berada di titik terendah sekalipun, hingga sci-fi dan action yang kehadirannya tetap konsisten pada tugas yang ia emban.


Keputusan Edgar Wright untuk tampil dalam kemasan yang sedikit lebih kompleks dan lebih dalam tidak berakhir mengecewakan karena ia mampu memadukan formula standard dengan kejutan-kejutan menyenangkan. Ada persahabatan, tanggung jawab, tokoh yang tampak bahagia hanya dari luar, hingga kemudian bertumbuh dari kisah masa lalu, dan tiba di tema sci-fi yang ringan namun tetap mampu menjadi arena baru bagi Wright untuk menarik sebuah kesimpulan yang tepat guna dari semua susunan yang ia telah bangun sebelumnya.

Narasinya sendiri bergerak cepat dan cukup stabil. Tapi The World's End kerap kali terasa terhenti dibeberapa bagian, kurang begitu yakin apakah itu keputusan untuk memainkan tempo cerita atau ada tujuan lain namun yang pasti hal tersebut menjadikan kegilaan yang lima pria itu ciptakan seperti putus sambung yang menggerus kenikmatan alur cerita dalam skala kecil. Ini mungkin tampak gambling karena The World’s End masih menerapkan tipe komedi yang sama sehingga punya kemungkinan yang lebih besar untuk berhasil tampil menghibur bagi mereka yang telah menyaksikan dua film sebelumnya, bukan karena cerita yang bahkan tidak memiliki hubungan yang kuat, namun lebih kepada warna cerita terutama joke dan lelucon dari Pegg dan Frost.

Dari divisi akting, kombinasi Simon Pegg dan Nick Frost masih kokoh, chemistry mereka yang kali ini tidak dibangun dengan mencolok masih dapat anda rasakan. Yang cukup disayangkan adalah terlalu dominannya Pegg kali ini, menjadikan Frost seperti ikut terjebak bersama Eddie Marsan, Martin Freeman, dan Paddy Considine di level kedua akibat pengembangan karakter yang sejak awal memang tidak begitu luas. Tapi sebagai sebuah tim, lima pemeran ini tampil memikat, terutama cara mereka mengolah humor kering yang masih mampu terasa renyah. Bill Nighy juga cukup baik dengan suaranya di bagian penutup, sedangkan Rosamund Pike hanya sebagai tempelan.


Overall, The World's End adalah film yang memuaskan. Masih dengan script yang kuat, penuh dengan lelucon yang tidak murahan, lucu, dan mudah dipahami, The World's End berhasil menjadi petualangan yang fokus, penggabungan invasi dan apocalypse yang tidak berlebihan, menggambarkan bahwa menjadi dewasa tidak bisa hanya dengan menunggu namun juga disertai upaya dan usaha. Ini lebih gelap, lebih berat, dari tingkat kelucuan juga tidak berkembang begitu besar, namun ia masih menghibur, dan sama seperti apa yang telah dua pendahulunya pernah lakukan sebelumnya, The World's End berhasil menjadi sebuah film yang mengesankan.



0 komentar :

Post a Comment