15 September 2013

Movie Review: The Frozen Ground (2013)

 

Mereka memang punya kualitas akting yang tidak buruk, namun jika anda diminta untuk mendeskripsikan Nicolas Cage dan John Cusack dalam satu kata maka jawabannya adalah: ragu. Kick-Ass menarik berkat bantuan Cage, begitupula dengan Hot Tub Time Machine dengan kehadiran Cusack, tapi coba tarik lima tahun kebelakang maka list yang mereka miliki lebih sering berisikan film kelas C hingga E, dari 2012, The Raven, hingga Ghost Rider dan Stolen. Yang mengejutkan adalah The Frozen Ground berhasil tampil berbeda, thriller yang tidak memikat, namun juga tidak menyiksa.

Dalam kurun waktu 12 tahun lebih dari 20 wanita muda telah dilaporkan hilang, dan hebatnya tanpa jejak. Ya, pembunuh berantai itu seperti sesosok hantu yang bebas melakukan aksinya tanpa berhasil diidentifikasi penduduk Alaska. Namun pada tahun 1983, seorang pelacur bernama Cindy Paulson (Vanessa Hudgens) berhasil melepaskan diri dari cengkeraman pria bernama Robert Hansen (John Cusack), yang kemudian melaporkan kejadian tersebut kepada polisi, dan membuka jalan masuk untuk menelusuri serial-killer tersebut. Namun ternyata hal tersebut berbeda dengan apa yang dipikirkan seorang detektif bernama Jack Halcombe  (Nicolas Cage).

Halcombe yakin, bahkan sangat yakin, bahwa Hansen adalah pelaku dari pembunuhan berantai yang selama ini terjadi. Namun sayangnya hal tersebut tidak memperoleh dukungan penuh dari atasannya, dan untuk membuka jalan baginya Halcombe harus memperoleh informasi dari Cindy. Tapi rintangan Halcombe tidak sampai disitu, karena Cindy sendiri adalah wanita bermasalah yang sebelumnya telah terjerat dalam kelompok germo yang dipimpin oleh Pimp Clate Johnson (50 Cent). Bergerak cepat adalah pilihan satu-satunya bagi Halcombe, karena selain menjadi bukti yang memberikan izin penangkapan juga untuk menghindari hal yang paling Halcombe takutkan, kemunculan korban berikutnya.



Tidak ada ekspektasi yang begitu tinggi pada film ini, bukan hanya karena kombinasi Cage dan Cusack, namun juga akibat dari Scott Walker, sosok baru yang menjadikan The Frozen Ground sebagai debut perdananya sebagai sutradara. Untung saja Walker punya materi yang cukup kuat, kisah nyata dari seorang serial killer bernama Robert Hansen yang pernah mengejutkan negara bagian Alaska sekitar awal tahun 1980. Dan uniknya lagi Walker berhasil memberikan pembukaan yang sanggup menarik minat anda kepada kasus tersebut. 

Menyaksikan The Frozen Ground seperti melihat sebuah cerita detektif klasik, berisikan aksi kejar layaknya kucing dan tikus, dikembangkan dengan baik dalam tempo pelan yang menuntut rasa sabar, minim aksi “mewah” untuk memacu adrenalin, memilih untuk memainkan tensi film menggunakan karakter dan pergerakan cerita. Ya memang metode seperti ini merupakan sebuah perjudian dimana ia kerap kali kurang mampu mempertahankan atensi dan minat para penonton pada cerita yang ia miliki, mereka bahkan akan rusak hanya dengan blunder kecil karena tidak punya elemen “mewah” yang dapat menjadi pengalih perhatian sementara.

Celakanya itu yang dialami oleh The Frozen Ground. Sebenarnya ia dibuka dengan mumpuni, dimana Walker tidak mencoba menutupi terlalu jauh siapa sebenarnya karakter antagonis, sebuah keputusan yang tepat kerena faktanya ikut memberikan dampak positif pada daya tarik cerita. Yap, anda seperti diberikan sebuah sajian yang mencoba menggambarkan kembali kejadian 30 tahun yang lalu dalam bentuk yang nyata, sehingga proses pengamatan menjadi fokus, dan tidak dapat dipungkiri perlahan semakin mempertebal rasa penasaran. Tapi anehnya ketimbang menjadi sebuah thriller yang lembut, The Frozen Ground perlahan justru berubah menjadi proses pengamatan yang monoton di bagian tengah.



Karakternya memang dibentuk dengan cara yang biasa, namun itu masih dapat dimaafkan mengingat mungkin Walker memasang sedikit batasan untuk tidak bergerak terlalu jauh dalam upaya untuk menghormati keluarga para korban. Namun tidak dengan script yang perlahan mulai tampak dangkal dan monoton. Walker seperti terjebak pada keputusannya untuk fokus pada tindakan prosedurial polisi, dan ketika mereka mulai berubah menjadi beban hasilnya apa yang ia ciptakan diawal hilang dibagian tengah. Bagian tengah film lebih tampak seperti tempat berkumpulnya konflik sederhana tanpa dibangun dengan alur yang jelas, mondar-mandir.

Memang tidak menjadi kumpulan konflik yang menjengkelkan, tapi ini berubah menjadi dongeng, dimana anda duduk mengamati tanpa diberikan kesempatan yang lebih besar untuk dapat ikut merasakan cerita. Benar, kesempatan itu minim, padahal sebenarnya tema yang ia bawa punya potensi yang sangat besar untuk menarik simpati. The Frozen Ground pada akhirnya seperti bergerak dalam labirin kecil dan sempit yang berupaya mencari jalan keluar, dan anda sebagai penonton hanya mengamati karena perlu usaha yang cukup besar untuk dapat peduli pada karakter dan cerita, pada motivasi mereka, dan hanya menantikan bagaimana ia akan berakhir.

Hal tadi dapat ditutupi memang, tapi masalahnya karakter juga tidak dikembangkan terlalu jauh oleh Walker. Nicolas Cage mungkin akan sedikit mengejutkan, ia tidak memukau, namun tidak pula tampil buruk. Justru Cusack yang sedikit menjadi perhatian, ia kurang berhasil memberikan nafas kejahatan pada cerita, sosok pembunuh yang keji tidak tampak padanya, terlalu lembut, bahkan ia lebih menyeramkan ketika tampil di The Paperboy. Sedangkan Hudgens menampilkan performa yang kembali mampu memikat setelah melakukan hal tersebut terakhir kali empat tahun lalu, di Bandslam.



Overall, The Frozen Ground adalah film yang cukup memuaskan. Suka dengan setting yang diciptakan, suka dengan cara ia dibuka, dan suka dengan bagian akhir ketika ia hendak menutup kasus. Sayangnya, potensi yang sebenarnya cukup kuat itu harus rusak akibat bagian tengah yang cukup monoton dan terlalu tertutup. Anda dapat melihat betapa mengerikan kisah nyata tersebut, namun anda mungkin harus berusaha sedikit lebih kuat untuk dapat merasakan perputaran rasa takut dan cemas dari cerita. Not bad, good enough. Nice debut Scott Walker.













0 komentar :

Post a Comment