25 July 2013

Movie Review: What Maisie Knew (2012)


Having a child is not as easy as you think about, itu mengapa tidak sedikit pasangan suami istri yang memilih tidak ingin terburu-buru untuk memiliki anak. Mereka akan membawa sebuah perubahan, menjadi anugerah terindah yang memberi warna dan semangat baru, namun di lain sisi juga menjadi sebuah tanggung jawab yang sangat besar. What Maisie Knew, diadaptasi dari novel abad 19, sebuah perpaduan brilliant antara pertanyaan “Apa itu orangtua yang baik?”, bersama sindiran “Don't be a parents if you still have a lot of asshole attitude!” 

Susanna (Julianne Moore), a female rocker with a high temper, moody dan berjiwa bebas, sepertinya telah melakukan sebuah kesalahan besar menikah dengan Beale (Steve Coogan), pria Inggris bergaya elegan yang bekerja sebagai art dealer. Apartement mereka di daerah Manhattan setiap harinya selalu diisi dengan pertengkaran penuh emosi bernada tinggi, berupaya saling menyalahkan dan saling menjatuhkan, sebuah pemandangan yang familiar bagi nanny mereka Margo (Joanna Vanderham), dan celakanya juga bagi anak perempuan mereka yang masih berusia enam tahun, Maisie (Onata Aprile).

Keluarga disfungsional ini tidak menunjukkan perubahan kearah positif, dan keduanya memutuskan untuk bercerai (tidak perlu spoiler, tidak begitu penting), dengan Maisie yang diasuh secara bergantian. Tapi celakanya upaya saling menghancurkan itu ternyata belum usai, yang kemudian menghadirkan Lincoln (Alexander Skarsgård), seorang bartender, kedalam kehidupan Susanna. Menggunakan Maisie sebagai pion untuk menunjukkan rasa benci, mereka tidak sadar bahwa dibalik ketenangan yang Maisie tunjukkan bersama upaya untuk mendamaikan kedua orang tuanya, gadis kecil itu telah kecewa bersama penderitaan yang terlalu dini untuk ia hadapi.


What Maisie Knew adalah film yang indah, cerdas, efektif, dan predictable. Diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Henry James, tim penulis Nancy Doyne dan Carroll Cartwright sepertinya punya satu visi yang sama dengan dua sutradara, Scott McGehee dan David Siegel, pada cara untuk menggambarkan kisah heartbreaking ini. Tema utama bernafaskan permasalahan kaum dewasa dimana anak akan selalu menjadi korban utama dari perceraian orang tua mereka berhasil dikemas secara solid dengan penggunaan sudut pandang menarik yang mampu menghadirkan unsur terpenting yang harus dimiliki tipe drama seperti ini, konflik emosional.

Kesuksesan utama film adalah kemampuan ia dalam menggambarkan bagaimana perasaan sakit Maisie yang harus menjadi korban dari kegagalan dua orang tuanya, yang celakanya dibalut bersama kondisi diam dan senyum pahit yang terus ia tunjukkan. Cinta yang begitu besar ketika pertengkaran itu bermula dengan cermat mulai digerus melalui penggambaran implisit, dan meninggalkan sebuah rasa empati yang tumbuh semakin besar pada karakter Maisie yang mulai tampak seperti sebuah boneka kurang berharga, terlebih dengan bantuan kebahagiaan yang ditampilkan lewat lingkungan sekitarnya yang secara frontal langsung menjadi pembanding antara good parents dan bad parents, dan berhasil menjadi bukti bahwa money can’t buy you a happiness.

Film ini memang memiliki beberapa bagian yang terkesan seperti sebuah upaya trik hipnotis, memanfaatkan sosok polos yang bahkan belum tahu mana yang salah dan mana yang benar, sebagai pion utama untuk menjadikan penontonnya terlena merasakan permainan melodrama yang emosional dari sebuah kisah yang sempit, dan tidak bergerak dalam tempo yang dinamis. Namun jebakan itu bukan upaya dari mereka untuk menutupi nilai minus yang mereka miliki, tapi sebuah usaha untuk menjadikan penontonnya semakin larut dalam permainan emosional yang sederhana bersama Maisie. Dan, setting itu berhasil, menjadikan penonton sebagai observer yang mulai merasakan sakit yang Maisie rasakan, sedih ketika ia tersiksa, dan ingin mencoba membantunya ketika harapan itu ada.


What Maisie Knew punya konflik emosional yang dalam, sanggup menjaga inti utama dari kehadirannya, namun tetap mampu menjadi penggambaran yang kokoh tanpa mencoba mengeksplorasi setiap elemen krusialnya secara berlebihan. Scott McGehee dan David Siegel berhasil membangun simpati hingga rasa sakit dan jengkel anda kepada orangtua Maisie lewat materi-materi yang berwarna, powerfull namun lembut. Hal menarik lainnya adalah cara mereka membentuk karakter Maisie yang tidak terlalu overdo, diberikan batasan yang menjadikan ia tetap seorang anak yang polos, dari mengintip pertengkaran orangtua, bermain ayunan, hingga naik sepeda roda tiga.

Memang, What Maisie Knew punya cerita yang terlalu mudah untuk ditebak (yang bahkan tidak memberikan sebuah konklusi), namun dapat dengan mudah dimaafkan, karena menjadi sebuah tontonan yang kompleks dari segi cerita bukan menjadi tujuan utama mereka. What Maisie Knew lebih mengutamakan agar para penontonnya dapat ikut bertumbuh bersama konflik yang ia usung dari sisi emosional, rasa sakit dan penderitaan karena kebutaan akibat egoisme yang begitu tinggi. Hal tersebut yang akan membagi penontonnya kedalam dua kategori, dengan keberhasilan yang tergantung pada kecocokkan perspektif penonton tersebut dengan maksud yang ingin mereka sampaikan.

Bintang utama film ini, Onata Aprile. Aprile sangat berhasil mengolah materi yang ia miliki, terutama pada cara ia menggambarkan penderitaan yang Maisie alami dalam bentuk upaya menahan rasa sakit dalam diam, yang justru memberikan rasa sakit yang lebih besar kepada penontonnya. Empat pemeran lainnya berdiri sejajar. Moore berhasil menjadi pusat dari egoisme yang menghancurkan, sedangkan Coogan mampu menjadi sosok yang paling menjengkelkan. Skarsgård sukses menjadikan karakter sebagai penggambaran paling tepat dari sebuah ketulusan, sedangkan Vanderham menjadi sosok kebalikan dari Susanna, lewat kepedulian yang ia miliki.


Overall, What Maisie Knew adalah film yang memuaskan. Ini adalah film sederhana yang sangat efektif, dapat menjadi sebuah wake up alarm buat para orangtua, dan mungkin bahkan calon orangtua, bahwa arti dari sebuah pernikahan bukan hanya sebatas ikatan administratif, get a lot of money, and give your child a lot of toy to make them happy, karena mereka justru merasa lebih bahagia hanya dengan hal sederhana. They may just an innocent child who you think can easily brainwashed with just a “love” word, but they are far clever than that, they need your attention and thoughtfulness too, they need your respect.



2 comments :