02 April 2013

Movie Review: You Are the Apple of My Eye (2011)


"The cruelest part in “growing up” is that girls are always more mature than guys of the same age. No one guys can handle girls at their age."


Perlu waktu yang sedikit lebih lama bagi saya untuk dapat beradaptasi dengan film Asia, bahkan jika di bandingkan dengan film Scandinavia yang secara logika lebih strange dalam hal bahasa. Setelah mulai berhasil menyatu dengan film Korea, dan Jepang (meskipun kuantitas post sangat sedikit), saya ingin mencoba memperdalam film berbahasa non-english dari negara lain, dan kali ini pilihannya adalah Mandarin dan Thailand. Kembali, ini adalah film yang di rekomendasikan oleh teman saya, orang yang juga menjadikan Architecture 101 sebagai film asia pertama di blog ini. Hasilnya ternyata tidak jauh berbeda.

Ko Ching-teng (Ko Chen-tung), adalah seorang pelajar high school dengan kelakuan yang jauh dari standar dari proses menuju dewasa. Berjiwa bebas, childish, bertindak sesukanya, bahkan lebih suka telanjang tanpa sehelai benang ketika ia beraktivitas di rumah. Ya, Ching-teng mungkin adalah standar bagi siswa bandel di tahun 1994, ditambah lagi prestasi akademisnya yang sangat jelek akibat keputusan anehnya yang tidak mau belajar karena beralasan tidak ingin lebih hebat dari siswa terpintar di sekolahnya.

Wanita itu adalah Shen Chia-yi (Michelle Chen), siswi manis pujaan hati dari Ching-teng yang telah berteman dengannya sejak awal high school, pelajar teladan yang selalu mengisi waktu luangnya dengan belajar dan belajar, perempuan yang dewasa dari cara berpikir maupun bertindak. Suatu ketika Chia-yi mendapatkan sebuah tugas yang tidak menyenangkan, dimana ia diminta oleh kepala sekolahnya untuk mengawasi Ching-teng (yang dihukum akibat bertindak bodoh), terutama dalam bidang akademis. Chia-yi bersikap serius, dan memaksa Ching-teng mematuhi semua tugas dan aturannya, tapi perlahan justru terjebak dalam permainan asmara.


You Are the Apple of My Eye adalah sebuah bukti bagi saya dimana film coming-of-age yang mengangkat tema percintaan adalah pilihan terbaik sebagai starter untuk mengenal lebih dalam film dari suatu negara non-english dan bahasa, bukan film horror ataupun action yang sebenarnya sudah sering saya saksikan namun tetap tidak berhasil membuat saya mencintai film dari negara tersebut. Tidak perlu mencoba untuk tampil elegan dan pintar agar dapat mengaduk-aduk emosi penontonnya, mereka hanya perlu tampil jujur, bahkan dengan memasukkan adegan-adegan negatif di luar batas normal, karena tidak dapat dipungkiri justru hal-hal tersebutlah yang memberikan warna terindah ketika anda berada pada tahap coming-of-age.

Hal tersebut yang dimiliki oleh You Are the Apple of My Eye, yang sempat menarik perhatian di tahun 2011 lalu (poor me tidak mau mencobanya tahun lalu) dengan menciptakan rekor box-office di tiga negara. Film ini dengan berani tampil jujur lengkap dengan semua hal positif dan negatif yang mungkin pernah anda temui semasa high school. Berkumpul bersama sahabat-sahabat yang gila, mengagumi wanita yang sama, memberontak pada guru yang menjengkelkan, hingga berkelahi, digambarkan tanpa terasa dibatasi oleh Giddens Ko, penulis novel, screenplay, dan juga sutradara film ini.

Faktor Giddens Ko  pula yang menjadikan film ini sukses mencapai target di berbagai elemennya. Layaknya Stephen Chbosky dengan filmnya yang juga memukau itu, The Perks of Being a Wallflower, Giddens Ko tahu materi yang ia punya, tahu tujuan utama apa yang ingin ia sampaikan, dan juga tahu bagaimana cara terbaik untuk menyampaikannya. Semua tampak bebas dengan ruang gerak yang luas, terlihat dari karakter dalam cerita yang tampak hidup, alur cerita yang mulus tanpa pernah terasa stuck total, dan juga permainan emosi yang terbentuk dengan baik. Dengan semua materi itu, Giddens Ko tampak sangat percaya diri dalam mengolah tiap bagian, tampak bebas dalam bereksperimen, dan hebatnya sukses menjadikan film ini untuk tampil efektif tanpa terkesan murahan karena penggambaran yang tepat sasaran.


You Are the Apple of My Eye adalah film yang komplit, punya banyak unsur cerita yang hadir dengan berbagai pesan tentang kehidupan yang memukau. Banyak pelajaran menarik yang ditawarkan film ini, dari ketika para karakter masih bersekolah, dari kisah persahabatan, perjuangan untuk menggapai cita-cita, hingga bagaimana arti cinta yang “sesungguhnya”.  Yang menjadi kekuatan utama film ini terletak pada cara Giddens Ko membentuk cerita kedalam screenplay yang sederhana namun proporsional. Permulaan yang awkward ketika mereka berdua belajar bersama di sekolah pada malam hari, perbincangan melalui telepon, adegan balon kertas, hingga pertengkaran di bawah rintik hujan, semuanya sukses mengaduk-aduk emosi, indah.

Meskipun ia terkesan sebagai film bagi semua kalangan karena tema romance yang ia bawa, You Are the Apple of My Eye bagi saya justru adalah sebuah film yang segmented. Tidak seperti The Perks of Being a Wallflower yang masih menghadirkan coming-of-age dalam lingkup yang luas, kondisi dimana banyak dari anda pernah mengalaminya, film ini adalah kebalikan dari hal itu. Jika anda adalah seorang kutu buku yang tidak pernah melakukan hal-hal gila semasa sekolah, mungkin sulit bagi anda untuk terhibur menyaksikan film ini. Anda tidak cukup hanya tahu, namun anda juga harus melakukan hal-hal “menyenangkan” itu untuk dapat merasakan feel dari setiap karakter, at least seperti pernah ribut dikelas, atau merasa bosan ketika guru sedang menjelaskan.

Film ini seperti tidak memiliki kelemahan dalam skala mayor. Giddens Ko tampak tidak mau mengambil resiko dalam debutnya sebagai sutradara, bermain aman dalam hal teknis, lebih mengandalkan banyak pelajaran menarik dari cerita yang ia miliki, namun sukses memberikan banyak adegan yang sanggup menjadi favorit penonton karena berhasil membawa kembali memori di masa high school. Tidak hanya berkat Giddens Ko, namun juga Ko Chen-tung dan Michelle Chen yang menjadikan chemistry dalam bentuk air dan api diantara mereka terbangun dengan baik. Begitupula dengan pemeran pendukung yang memang punya peran kecil, namun punya arti penting bagi cerita.


Overall, You Are the Apple of My Eye adalah film yang memuaskan. Memang sebuah paket yang tidak megah, aman dan cukup standar, namun menyaksikan film ini seperti membawa saya kembali ke salah satu masa indah itu, berkat tampilan jujur dan bebas yang dihadirkan Giddens Ko. Kisah cintanya mempesona, cerita persahabatan juga menyentuh, dan humor yang diberikan juga tepat sasaran. Sepertinya minggu ini otak saya akan penuh dengan adegan film, setelah The Hunt (Jagten), dan disusul film ini, terutama soundtracknya yang berjudul Those Years itu.




7 comments :

  1. Bang coba liat film 71 Into the fire gimana menurut abang filmnya?

    ReplyDelete
  2. min, aku kok nda dapet feel nonton filem ini ya, min?
    apa karna aku masuk kategori kutu buku pas sma, min?
    aah sok-sok badung lu, min! pffff

    ReplyDelete
    Replies
    1. Karena setiap orang punya standard yang berbeda. Simple.

      Delete
    2. standard aku pake standard SNI, min..
      eh, min, banyakin referensi pelem korea dong.. si john donlot banyak tuh, tp ane bingung mau nnton yang mana. trims, min :*

      Delete
  3. bagus banget nih film, w merasakan banget apa yg d rasakan pemeran utama pria ini. bener2 mengingatkan kita di masa2 sma ampe skarang d perkuliahan

    ReplyDelete